Wallahu 'alam Bishawab.
Semoga yang sedikit ini menjadi manfaat buat kita.
Wasallamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Jakarta, 28 Sya'ban 1439 H
بسم الله الرحمان الرحيم
Seluruh penjuru dunia telah menyambut pergantian tahun. Seperti negara-negara lain di dunia, masyarakat di Indonesia pun juga demikian. Jika di beberapa negara Asia, seperti Jepang, Korea, dan China, masyarakatnya menghabiskan malam Tahun Baru dengan mengunjungi tempat ibadah untuk berdoa. Maka di Indonesia, meniup terompet sudah menjadi tradisi masyarakat saat menyambut pergantian tahun.
Sayangnya, hingga saat ini tak banyak orang yang tahu mengapa terompet dipilih untuk menyambut datangnya tanggal 1 Januari!! Mereka juga tak tahu hukumnya menurut syariat Islam!!!
Semula, budaya meniup terompet ini merupakan budaya masyarakat Yahudi saat menyambut tahun baru bangsa mereka yang jatuh pada bulan ke tujuh pada sistem penanggalan mereka (bulan Tisyri). Walaupun setelah itu mereka merayakannya di bulan Januari sejak berkuasanya bangsa Romawi kuno atas mereka pada tahun 63 SM. Sejak itulah mereka mengikuti kalender Julian yang kemudian hari berubah menjadi kalender Masehi alias kalender Gregorian.
Pada malam tahun barunya, masyarakat Yahudi melakukan introspeksi diri dengan tradisi meniup shofar (serunai), sebuah alat musik sejenis terompet. Bunyi shofar mirip sekali dengan bunyi terompet kertas yang dibunyikan orang Indonesia di malam Tahun Baru.
Sebenarnya shofar (serunai) sendiri digolongkan sebagai terompet. Terompet diperkirakan sudah ada sejak tahun 1.500 sebelum Masehi. Awalnya, alat musik jenis ini diperuntukkan untuk keperluan ritual agama dan juga digunakan dalam militer terutama saat akan berperang. Kemudian terompet dijadikan sebagai alat musik pada masa pertengahan Renaisance hingga kini.
Para pembaca yang budiman, inilah sejarah terompet dan asal penggunaannya. Dia merupakan syi’ar dan simbol keagamaan mereka saat merayakan tahun baru. Selain itu, terompet juga dipakai oleh bangsa Yahudi dalam mengumpulkan manusia saat mereka ingin beribadah dalam sinagoge (tempat ibadah) mereka.
Perkara ini telah dijelaskan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat Abdullah bin Umar -radhiyallahu anhu- saat beliau berkata,
كَانَ الْمُسْلِمُونَ حِينَ قَدِمُوا الْمَدِينَةَ يَجْتَمِعُونَ فَيَتَحَيَّنُونَ الصَّلاَةَ لَيْسَ يُنَادَى لَهَا فَتَكَلَّمُوا يَوْمًا فِي ذَلِكَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ اتَّخِذُوا نَاقُوسًا مِثْلَ نَاقُوسِ النَّصَارَى وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ بُوقًا مِثْلَ قَرْنِ الْيَهُودِ فَقَالَ عُمَرُ أَوَلاَ تَبْعَثُونَ رَجُلاً يُنَادِي بِالصَّلاَةِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَا بِلاَلُ قُمْ فَنَادِ بِالصَّلاَةِ
“Dahulu kaum muslimin saat datang ke Madinah, mereka berkumpul seraya memperkirakan waktu sholat yang (saat itu) belum di-adzani. Di suatu hari, mereka pun berbincang-bincang tentang hal itu. Sebagian orang diantara mereka berkomentar, “Buat saja lonceng seperti lonceng orang-orang Nashoro”. Sebagian lagi berkata, “Bahkan buat saja terompet seperti terompet kaum Yahudi”. Umar pun berkata, “Mengapa kalian tak mengutus seseorang untuk memanggil (manusia) untuk sholat”. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Wahai Bilal, bangkitlah lalu panggillah (manusia) untuk sholat”. [HR. Al-Bukhoriy (604) dan Muslim (377)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata, “Terompet dan sangkakala sudah dikenal. Maksudnya (hadits ini), bahwa terompet itu ditiup lalu berkumpullah mereka (orang-orang Yahudi) saat mendengar suara terompet. Ini adalah syi’ar kaum Yahudi. Ia disebut juga dengan shofar (serunai)”. [Lihat Fathul Bari (2/399), cet. Dar Al-Fikr]
Syaikhul Islam Abul Abbas Al-Harroniy -rahimahullah- berkata, “Tujuan kita disini bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tatkala membenci terompet Yahudi yang tertiup dengan mulut dan lonceng Nashoro (Kristen) yang dipukul dengan tangan, maka beliau menjelaskan sebab (beliau membenci terompet) bahwa ini (terompet Yahudi) termasuk urusan agama Yahudi, dan beliau menjelaskan sebab (beliau membenci lonceng) bahwa ini (lonceng Nashoro) termasuk urusan agama Nashoro.
Karena penyebutan sifat setelah hukum menunjukkan bahwa ia adalah sebab bagi kebencian tersebut. Ini mengharuskan pelarangan dari segala perkara yang termasuk urusan agama Yahudi dan Nashoro”. Demikianlah perkaranya. Padahal terompet Yahudi, konon kabarnya ia terambil dari Musa –alaihis salam- dan bahwa di zaman beliau terompet ditiup. Adapun lonceng, maka ia perkara yang diada-adakan. Sebab mayoritas syariat kaum Nashoro telah diada-adakan oleh para pendeta dan ahli ibadah mereka.
Kebencian Rasul -Shallallahu alaihi wa sallam- terhadap terompet Yahudi dan lonceng Nashoro demi menyelisihi mereka. Ini menuntut dibencinya jenis suara ini secara mutlak pada selain sholat juga. Karena hal itu termasuk urusan agama Yahudi. Sebab orang-orang Nashoro memukul lonceng di luar waktu-waktu ibadah mereka…Sungguh kebanyakan orang dari kalangan umat ini (baik raja, maupun selainnya) telah tertimpa oleh syi’ar Yahudi dan Nashoro ini”. [Lihat Al-Iqtidho' (5/19)]
Apa yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam -rahimahullah- amatlah benar. Anda lihat di malam tahun baru, banyak diantara kaum muslimin yang jahil ikut meniup terompet. Padahal semua itu adalah syi’ar agama Yahudi yang dilarang untuk ditiru.
Lantaran itu, perbuatan ini kita harus jauhi, sebab Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum tersebut” (HR. Abu Dawud (4031). Di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (4347)]
Terakhir, kami nasihatkan kepada kaum muslimin agar menjauhkan terompet-terompet Yahudi dari anak-anak dan rumah-rumah kita setelah kita mengetahui haramnya, membenci dan meninggalkannya. Sebab, benda itu hanyalah mengingatkan kita kepada agama dan syi’ar kekafiran mereka!!!
Teks Pengantar Khotbah
إنَّ الـحَمْدَ لِلّهِ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُه.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا أَمَّا بَعْدُ
Status Riwayat
Pengantar khotbah di atas diriwayatkan dari enam sahabat. Mereka adalah: Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, Nubaith bin Syarith, dan Aisyah radhiallahu ‘anhum.
Dalam hal ini, kami hanya menyebutkan riwayat Ibnu Mas’ud.
عن أبي عبيدة بن عبد الله عن أبيه قال : عَلَّمَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ خُطْبَةَ الْحَاجَةِ [ فِيْ النِّكَاحِ وَغَيْرِهِ ] : إنَّ الْحَمْدُ لِلّهِ….الخ
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami khutbatul hajah … –sebagaimana lafal di atas– ….” (H.r. Abu Daud, An-Nasa’i, Al-Hakim, Daud Ath-Thayalisi, Imam Ahmad, dan Abu Ya ‘la; dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani)
Keterangan Umum
Pengantar khotbah di atas disebut sebagai “khutbatul hajah“. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “hajah” pada hadis ini adalah ‘akad nikah’, karena pada acara inilah, umumnya seseorang membaca khutbatul hajah, yang umumnya tidak dibaca pada kesempatan yang lain.
Hanya saja, yang zahir, hadis ini bersifat umum untuk semua hajat dan kepentingan, baik kepentingan akad nikah maupun lainnya. Karena itu, selayaknya seseorang menggunakan pengantar khotbah ini untuk menyampaikan kepentingannya dan semua rencana hidupnya. Demikian keterangan dari Imam Muhammad As-Sindi dalam Hasyiyah (catatan kaki) untuk Sunan Nasa’i, 3:105.
Setelah mengutip pendapat di atas, Syekh Al-Albani memberi komentar, “Pemaknaan ini (‘hajah’ dimaknai dengan ‘nikah’) adalah pemaknaan yang lemah, bahkan keliru, karena adanya riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikannya selain saat akad nikah.” (Khutbatul Hajah, hlm. 31)
Kapan Khotbah ini Diucapkan?
Hadis di atas menunjukkan bahwa pengantar khotbah ini diucapkan ketika ada hajat dan kebutuhan yang hendak disampaikan. Di antaranya adalah ketika hendak melakukan akad nikah atau menyampaikan khotbah jumat. Terdapat keterangan lain, sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikut,
قَالَ شُعْبَة : قُلْتُ لِأَبِـي إِسحَاق : هَذِهِ فِي خُطبَةِ النِّكَاحِ أَوْ فِي غَيْرِهَا ؟ قَالَ: فِـي كُلِّ حَاجَةٍ
Syu’bah bertanya kepada gurunya, Abu Ishaq, “Apakah ini khusus untuk khotbah nikah atau boleh dibaca pada kesempatatan lain?” Jawab Abu Ishaq, “Diucapkan pada setiap acara yang penting.” (Sunan Al-Kubra, karya Al-Baihaqi, no. 13604)
Syu’bah bin Hajjaj adalah salah satu perawi hadis yang menyebutkan tentang khutbatul hajah.
Cara Baca
Untuk lafal “إن الـحَمْد لِلّهِ” ada beberapa cara baca:
Huruf nun pada kata “ إن ” ditasydid dan dal pada kata “ الـحَمْد ” diberi harakat fathah, sehingga dibaca “إنَّ الـحَمْدَ لِلّهِ”.
Huruf nun pada kata “ إن ” ditasydid dan dal pada kata “ الـحَمْد ” diberi harakat dhammah, sehingga dibaca “إنَّ الـحَمْدُ لِلّهِ”. Hal ini sebagaimana keterangan Mula Ali Qari dalam kitab Mirqah Al-Mashabih.
Huruf nun pada kata “ إن ” tidak ditasydid dan dal pada kata “ الـحَمْد ” diberi harakat dhammah, sehingga dibaca “إِنِ الـحَمْدُ لِلّهِ”. Ini sebagaimana keterangan Al-Jazari dalam Tashih Al-Mashabih.
Semua keterangan di atas disarikan dari ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, 6:108.
Makna “Amma Ba’du”
Kata “أَمَّا بَعْدُ” sering kita dengarkan setiap kali seseorang menyampaikan pengantar khotbah. Bisa juga diungkapkan dengan: “وَبَعْدُ” . Keduanya bermakna sama, yaitu: “adapun selanjutnya”.
Kalimat ini disebut “فَصْلُ الخِطَابِ” (kalimat pemisah). Diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu bahwa beliau mengatakan, “Orang yang pertama kali mengucapkan ‘amma ba’du’ adalah Nabi Daud ‘alaihis salam, dan itu adalah fashlal khitab.” (Al-Awail Ibni Abi Ashim, no. 188; Al-Awail Ath-Thabrani, no. 40)
Allah berfirman,
وَشَدَدْنَا مُلْكَهُ وَآتَيْنَاهُ الْحِكْمَةَ وَفَصْلَ الْخِطَاب
“Kami kuatkan kerajaannya serta Kami berikan ilmu dan fashlul khitab.” (Q.s. Shad: 20)
Kalimat ini digunakan untuk memisahkan mukadimah dengan isi dan tema khotbah. Ini merupakan bagian dari perhatian seseorang terhadap ceramah yang disampaikan. Demikian keterangan Syekh Ibnu Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumthi’, 1:7.
Anjuran Para Ulama
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi mengatakan, dalam mukadimah kitab beliau, Musykilul Atsar, “Saya mulai kitab ini dengan pembukaan ketika menyampaikan hajat, sebagaimana perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari berbagai jalur, yang akan kami sebutkan –insya Allah– sebagai berikut. Innal hamda lillah ….” (Musykilul Atsar, 1:3)
Syekh Muhammad Hayat As-Sindi mengatakan, “Selayaknya, seseorang menggunakan pengantar khotbah ini untuk menyampaikan kepentingannya dan semua rencana hidupnya….” (Hasyiyah untuk Sunan Nasa’i, 3:105)
Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Khutbatul hajah termasuk hal yang dianjurkan untuk disampaikan pada awal semua akad, seperti: jual beli, akad nikah, atau yang lainnya.” (Hasyiyah As-Sindi untuk Sunan Nasa’i, 3:105)
Setelah mengutip perkataan Imam Syafi’i di atas, Syekh Al-Albani memberi komentar, “Keterangan ulama yang menganjurkan pengucapan khotbah ini dalam jual beli atau semacamnya adalah pendapat yang lemah, karena inti akad jual beli dan semacamnya adalah ijab qabul …. Karena para sahabat yang berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga manusia zaman sekarang ini pun, sering melakukan akad tanpa diiringi dengan perkataan tertentu, namun menggunakan gerakan yang menunjukkan keinginan adanya akad …. (Khutbatul Hajah, hlm. 32)
Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, seseorang yang bergelar muhadditsul ‘ashr (ahli hadis abad ini), menulis buku khusus tentang khutbatul hajah. Beliau berharap, buku ini bisa menjadi motivasi bagi banyak orang untuk menghidupkan kembali sunah pembukaan khotbah yang hampir hilang. Di akhir buku Khutbatul Hajah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan, “Sesungguhnya, tujuan menulis risalah (buku kecil) ini adalah menyebarkan sunah yang hampir sudah biasa ditinggalkan banyak orang. Karenanya, aku tujukan kepada seluruh khatib, da’i, mudarris (pengajar), dan yang lainnya agar betul-betul menghafalnya, menggunakannya untuk membuka khotbah-khotbah dan ceramah mereka. Semoga Allah mewujudkan keinginan mereka dengan sebab khutbatul hajah.” (Khutbatul Hajah, hlm. 33)
Mukadimah Lainnya untuk Khotbah
Selain khutbatul hajah di atas, masih banyak bentuk mukadimah khotbah lainnya. Hanya saja, mukadimah tersebut tidak berlandaskan dalil, dan hanya merupakan kreasi dari para da’i serta penceramah ketika hendak menyampaikan khotbahnya.
Bagi Anda yang hendak menggunakan pengantar khotbah yang tidak ada dalilnya, hendaknya tidak menggunakan pengantar khotbah yang berlebihan, dipaksa-paksakan agar bersajak, dan mengandung pujian yang berlebihan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itu, untuk lebih aman, sebaiknya kita gunakan pengantar khotbah yang pernah disampaikan oleh para ulama dalam buku-buku mereka. Berikut ini beberapa pengantar khotbah yang sering digunakan oleh da’i.
Mukadimah Singkat
Mukadimah 1:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya:
Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini; dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk jikalau Allah tidak memberi petunjuk kepada kami. Sesungguhnya, telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran. Diserukan kepada mereka, “ltulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan amalan yang dahulu kamu kerjakan.”
Keterangan:
Mukaddimah ini merupakan surat al-A’raf, ayat 43. Pujian disampaikan oleh penghuni surga, ketika mereka telah melihat kenikmatan yang Allah berikan kepada mereka.
Mukadimah 2:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَلَهُ الْحَمْدُ فِي الْآخِرَةِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ
Artinya:
Segala puji bagi Allah yang memiliki segala perbendaharaan langit dan bumi, serta bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat. Dan Dialah yang Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui.
Keterangan:
Mukadimah ini ada di surat Saba, ayat pertama.
Mukadimah 3:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنَّا الْحَزَنَ إِنَّ رَبَّنَا لَغَفُورٌ شَكُورٌ
Artinya:
Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya, Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.
Keterangan:
Mukadimah ini merupakan surat Fathir, ayat 34.
Mukadimah 4:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا
Artinya:
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Al-Kitab (Alquran) kepada hamba-Nya, dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya.
Keterangan:
Mukadimah ini ada di surat Al-Kahfi, ayat pertama.
Mukadimah 5:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ
Artinya:
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi serta mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.
Keterangan:
Mukadimah ini ada di ayat pertama, surat Al-An’am.
Mukadimah 6:
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُورِ الدُّنْيَا وَالدِّينِ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ أَشْرَفِ الـمُرْسَلِينَ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْـمَـعِينَ، أَمَّا بَعْدُ
Artinya:
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Dengan-Nya kita meminta pertolongan dalam segala urusan dunia dan akhirat. Salawat dan salam tercurah untuk seorang utusan yang paling mulia, keluarganya, dan semua sahabatnya …. Amma ba’du ….
Mukadimah 7:
الْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ لله وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ، أَمَّا بَعْدُ
Artinya:
Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam tercurah untuk Rasulullah, para keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang tunduk lagi taat kepada beliau. Amma ba’du ….
Mukadimah 8:
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ أَشْرَفِ الـمُرْسَلِينَ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْـمَـعِينَ، أَمَّا بَعْدُ
Artinya:
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Salawat dan salam tercurah untuk seorang utusan yang paling mulia, keluarganya, dan semua sahabatnya …. Amma ba’du ….
Mukadimah 9:
الْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ أَشْرَفِ الأَنْبِيَاءِ وَالـمُرْسَلِينَ وَعَلىَ آلِهِ وَأَصَحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ اِلَى يَومِ الدِّينِ، أَمَّا بَعْدُ
Artinya:
Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam semoga tercurah untuk seorang nabi dan rasul yang paling mulia, keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat. Amma ba’du ….
Mukadimah 10:
الْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُولِهِ الْـمُصْطَفَى، وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى، أَمَّا بَعْدُ
Artinya:
Segala puji hanya bagi Allah, dan cukup Dia. Salawat dan salam tercurah untuk seorang utusan-Nya yang terpilih, keluarganya, sahabatnya, dan setiap orang yang menempuh jalan hidayah. Amma ba’du ….
Mukadimah 11:
الْحَمْدُ للهِ الَّذِي جَعَلَ فِي كُلِّ زَمَانٍ فَتْرَةً مِنَ الرُّسُلِ بَقَايَا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ يَدْعُونَ مَنْ ضَلَّ إِلَى الْهُدَى وَيَصْبِرُونَ مِنْهُمْ عَلَى الْأَذَى، يُـحْيَونَ بِكِتَابِ اللهِ الـمَوْتَى وَيُبَصِّرُونَ بِنُورِ اللهِ أَهْلَ الْعَمَى، فَكَمْ مِنْ قَتِيْلٍ لِإِبْلِيْسَ قَدْ أَحْيَوْهُ وَكَمْ مِنْ ضَالٍّ تَائِهٍ قَدْ هَدَوْهُ فَمَا أَحْسَنَ أَثَرِهُم عَلَى النَّاسِ وَأَقْبَحَ أَثَرِ النَّاسِ عَلَيْهِمْ. يُنْفَوْنَ عَنْ كِتَابِ اللهِ تَـحْرِيفَ الغَالِّينَ وَانْتِحَالَ الـمُبْطِلِينَ وَتَأْوِيْلَ الجَاهِلِينَ الَّذِيْنَ عَقَدُوا أُلُوِيَّةَ البِدْعَةِ وَأَطْلَقُوا عِقَالَ الفِتْنَةِ فَهُمْ مَخْتَلِفُونَ فِي الكِتَابِ مُخَالِفُونَ لِلْكِتَابِ مُجْمِعُونَ عَلَى مُفَارَقَةِ الكِتَابِ يَقُولُونَ عَلَى اللهِ وَفِي اللهِ وَفِي كِتَابِ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ يَتَكَلَّمُونَ بِالـمُتَشَابِهِ مِنَ الكَلَامِ وَيُـخْدِعُونَ جُهَّالَ النَّاسِ بِمَا يُشْبِهُونَ عَلَيْهِمْ فَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ فِتَنِ الْمُضِلِّينَ، أَمَّا بَعْدُ
Artinya:
Segala puji itu hanya menjadi hak Allah. Dialah Dzat yang memunculkan para ulama yang masih saja tersisa di setiap zaman yang mengalami kekosongan rasul. Para ulama tersebut mendakwahi orang yang tersesat kepada hidayah, dan mereka bersabar atas berbagai gangguan. Dengan kitab Allah, mereka hidupkan orang-orang yang hatinya sudah mati. Mereka perlihatkan cahaya Allah kepada orang yang buta mata hatinya. Betapa banyak korban iblis yang berhasil mereka selamatkan. Betapa banyak orang yang tersesat dan bingung berhasil mereka tunjuki jalan yang benar. Betapa bagus pengaruh mereka di tengah-tengah manusia dan betapa jelek balasan manusia terhadap mereka. Para ulamalah yang mengingkari penyelewengan makna Alquran yang dilakukan oleh orang-orang yang berlebih-lebihan serta pemalsuan yang dibuat oleh para pembela kebatilan. Yaitu, orang-orang yang memasang tali bid’ah dan mengencangkan ikatan fitnah. Mereka memperdebatkan kitabullah, menyelisihi Alquran, dan sepakat untuk keluar dari aturan Alquran. Mereka berbicara atas nama Allah, tentang Allah, dan tentang kitabullah, tanpa dalil. Mereka membicarakan tentang hal yang rancu dan menipu manusia-manusia bodoh dengan kerancuan berpikir yang mereka sebarkan. Kami berlindung kepada Allah dari ujian karena orang-orang yang sesat. Amma ba’du ….
Keterangan:
Mukadimah di atas merupakan mukadimah yang disampaikan oleh Imam Ahmad dalam kitabnya, Ar-Radd ‘ala Al-Jahmiyah wa Az-Zanadiqah. Banyak ulama yang mengutip pengantar beliau untuk dijadikan pembukaan khotbah atau pun ceramah yang bertajuk “Kesesatan dan Jalan Menyimpang”.
Telah menjadi kebiasaan di tengah-tengah kaum muslimin memperingati Tahun Baru Islam. Sehingga tanggal 1 Muharram termasuk salah satu Hari Besar Islam yang diperingati secara rutin oleh kaum muslimin.
Bagaimana hukum memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam? Apakah perbuatan tersebut dibenarkan dalam syari’at Islam?
Berikut penjelasan Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Faqîh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala ketika beliau ditanya tentang permasalahan tersebut. Beliau adalah seorang ahli fiqih paling terkemuka pada masa ini.
Pertanyaan : Telah banyak tersebar di berbagai negara Islam perayaan hari pertama bulan Muharram pada setiap tahun, karena itu merupakan hari pertama tahun hijriyyah. Sebagian mereka menjadikannya sebagai hari libur dari bekerja, sehingga mereka tidak masuk kerja pada hari itu. Mereka juga saling tukar menukar hadiah dalam bentuk barang. Ketika mereka ditanya tentang masalah tersebut, mereka menjawab bahwa masalah perayaan hari-hari besar kembalinya kepada adat kebiasaan manusia. Tidak mengapa membuat hari-hari besar untuk mereka dalam rangka bergembira dan saling tukar hadiah. Terutama pada zaman ini, manusia sibuk dengan berbagai aktivitas pekerjaan mereka dan terpisah-pisah. Maka ini termasuk bid’ah hasanah. Demikian alasan mereka.
Bagaimana pendapat engkau, semoga Allah memberikan taufiq kepada engkau. Kami memohon kepada Allah agar menjadikan ini termasuk dalam timbangan amal kebaikan engkau.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala menjawab :
تخصيص الأيام، أو الشهور، أو السنوات بعيد مرجعه إلى الشرع وليس إلى العادة، ولهذا لما قدم النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال: «ما هذان اليومان»؟ قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية، فقال رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم: «إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما: يوم الأضحى، ويوم الفطر». ولو أن الأعياد في الإسلام كانت تابعة للعادات لأحدث الناس لكل حدث عيداً ولم يكن للأعياد الشرعية كبير فائدة.
ثم إنه يخشى أن هؤلاء اتخذوا رأس السنة أو أولها عيداً متابعة للنصارى ومضاهاة لهم حيث يتخذون عيداً عند رأس السنة الميلادية فيكون في اتخاذ شهر المحرم عيداً محذور آخر.
كتبه محمد بن صالح العثيمين
24/1/1418 هـ
Jawab : Pengkhususan hari-hari tertentu, atau bulan-bulan tertentu, atau tahun-tahun tertentu sebagai hari besar/hari raya (‘Id) maka kembalinya adalah kepada ketentuan syari’at, bukan kepada adat. Oleh karena itu ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam datang datang ke Madinah, dalam keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari besar yang mereka bergembira ria padanya, maka beliau bertanya : “Apakah dua hari ini?” maka mereka menjawab : “(Hari besar) yang kami biasa bergembira padanya pada masa jahiliyyah. Maka Rasulullâh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.“
Kalau seandainya hari-hari besar dalam Islam itu mengikuti adat kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian penting sebagai hari raya/hari besar, dan hari raya syar’i tidak akan ada gunanya.
Kemudian apabila mereka menjadikan penghujung tahun atau awal tahun (hijriyyah) sebagai hari raya maka dikhawatirkan mereka mengikuti kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka. Karena mereka menjadikan penghujung tahun miladi/masehi sebagai hari raya. Maka menjadikan bulan Muharram sebagai hari besar/hari raya terdapat bahaya lain.
Ditulis oleh :
Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn
24 – 1 – 1418 H
[dinukil dari Majmû Fatâwâ wa Rasâ`il Ibni ‘Utsaimîn pertanyaan no. 8131]
Para pembaca sekalian,
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam tidak boleh, karena :
- Perbuatan tersebut tidak ada dasarnya dalam Islam. Karena syari’at Islam menetapkan bahwa Hari Besar Islam hanya ada dua, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.
- Perbuatan tersebut mengikuti dan menyerupai adat kebiasaan orang-orang kafir Nashara, di mana mereka biasa memperingati Tahun Baru Masehi dan menjadikannya sebagai Hari Besar agama mereka.
Oleh karena itu, wajib atas kaum muslimin agar meninggalkan kebiasaan memperingati Tahun Baru Islam. Sangat disesalkan, ada sebagian kaum muslimin berupaya menghindar dari peringatan Tahun Baru Masehi, namun mereka terjerumus pada kemungkaran lain yaitu memperingati Tahun Baru Islam. Lebih disesalkan lagi, ada yang terjatuh kepada dua kemungkaran sekaligus, yaitu peringatan Tahun Baru Masehi sekaligus peringatan Tahun Baru Islam.
Wallâhu a’lam bish shawâb
Sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=290