basukidwiputranto.blogspot.com

basukidwiputranto.blogspot.com

Jumat, 01 Maret 2019

Tafsir Surat Al Baqarah ayat 2


ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ

Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.

Makna ayat : 

Allah Ta’ala memberitahukan bahwa Al-Qur’an yang diturunkan kepada rasulNya merupakan kitab yang agung, tidak ada keraguan sedikitpun, dan tidak ada kemungkinan bahwa al-Qur’an itu bukanlah wahyu Allah, sebagai bentuk mukjizat. Kemudian kandungan Al-Qur’an yang berupa petunjuk dan cahaya bagi orang beriman dan bertakwa, dapat menerangi mereka untuk meniti jalan keselamatan, kebahagiaan dan kesempurnaan.

Pelajaran dari ayat : 

  1. Penguatan keimanan kepada Allah Ta’ala, kitabNya, dan rasulNya. Serta motivasi untuk senantiasa meminta petunjuk dari al-Qur’an.
  2. Penjelasan mengenai keutamaan takwa dan orang-orang yang bertakwa.

Berikut ini penjelasan dan uraiannya secara lebih mendalam.

Ibnu Juraij mengatakan, Ibnu Abbas pernah mengatakan bahwa makna zalikal kitabu adalah "kitab ini", yakni Al-Qur'an ini.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Ikrimah. Sa'id ibnu Jabir, As-Saddi, Muqatil ibnu Hayyan, Zaid ibnu Aslam, dan Ibnu Juraij. Mereka mengatakan bahwa memang demikianlah maknanya, yakni zalika (itu) bermakna haza (ini). Orang-orang Arab biasa menyilihgantikan isim-isim isyarah (kata petunjuk), mereka menggunakan masing-masing darinya di tempat yang lain; hal ini sudah dikenal di dalam pembicaraan (percakapan) mereka. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari, dari Ma'mar ibnul Musanna, dari Abu Ubaidah.
Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa isyarat tersebut ditunjukkan kepada Alif lam mim, sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya yang lain:

لَا فارِضٌ وَلا بِكْرٌ عَوانٌ بَيْنَ ذلِكَ
 yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan di antara itu. (Al-Baqarah: 68)

ذلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ
 Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kalian. (Al-Mumtahanah: 10)

 ذلِكُمُ اللَّهُ
(Zat) yang demikian itulah Allah. (Yunus: 3)

Masih banyak lagi contoh isyarat memakai lafaz dzalika dengan pengertian seperti yang telah disebutkan.
Sebagian kalangan ahli tafsir berpegang kepada apa yang diriwayatkan oleh Al-Qurtubi dan lain-lainnya, bahwa isyarat tersebut ditujukan kepada Al-Qur'an yang telah dijanjikan kepada Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam. akan diturunkan kepadanya, atau isyarat ditujukan kepada kitab Taurat atau Injil atau hal yang semisal; semuanya ada sepuluh pendapat. Akan tetapi, pendapat ini dinilai lemah oleh kebanyakan ulama.

Yang dimaksud dengan "Al-Kitab" di dalam ayat ini adalah Al-Qur'an. Orang yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud dengan lafaz dzalikal kitabu adalah isyarat kepada kitab Taurat dan Injil, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan lain-lainnya, jauh sekali menyimpang dari kebenaran. tenggelam ke dalam perselisihan dan memaksakan pendapat, padahal dia sendiri tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.

Ar-raib artinya keraguan. As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas dan dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud dan dari sej'umlah orang-orang dari kalangan sahabat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam., bahwa makna la raibafihi ialah "tidak ada keraguan di dalamnya". Hal yang sama dikatakan pula oleh Abud Darda, Ibnu Abbas. Mujahid. Sa'id ibnu Jabir, Abu Malik. Nafi' maula Ibnu Umar, Ata, Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Muqatil ibnu Hayyan, As-Saddi, Qatadah, dan Ismail ibnu Khalid.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, "Aku tidak pernah mengetahui ada perselisihan pendapat mengenai maknanya." Akan tetapi, adakalanya lafaz ar-raib dipakai untuk pengertian "tuduhan", seperti makna yang ada pada perkataan Jamil, seorang penyair:

بُثَيْنَةُ قَالَتْ يَا جَمِيلُ أَرَبْتَنِي ... فَقُلْتُ كِلَانَا يَا بُثَيْنُ مُرِيبُ
Busainah mengatakan, "Hai Jamil, apakah engkau curiga kepadaku?' Maka kukatakan, "Kita semua, hai Busainah, mencurigakan."
Adakalanya dipakai untuk pengertian "kebutuhan", seperti pengertian yang terkandung di dalam ucapan seseorang dari mereka, yaitu:

قَضَيْنَا مِنْ تِهَامَةَ كُلَّ رَيْبٍ ... وَخَيْبَرَ ثُمَّ أَجْمَعْنَا السُّيُوفَا
Kami telah menunaikan semua keperluan dari Tihamah dan Khaibar, setelah itu kami himpun pedang-pedang (senjata kami).
Makna ayat ialah bahwa kitab Al-Qur'an ini tidak ada keraguan di dalamnya, ia diturunkan dari sisi Allah. Pengertiannya sama dengan makna firman Allah Azza wa Jalla. di dalam surat As-Sajdah. yaitu:

الم تَنْزِيلُ الْكِتابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعالَمِينَ
Alif lam mim. Turunnya Al-Qur'an yang tidak ada keraguan padanya, (adalah) dari Tuhan semesta alam. (As-Sajdah: 1-2)

Sebagian ulama mengatakan bahwa bentuk kalimat ayat ini merupakan kalimat berita, tetapi makna yang dimaksud adalah kalimat nahi larangan). yakni: "Janganlah kalian meragukannya!"

Di antara ulama ahli qiraah ada yang melakukan waqaf (menghentikan bacaan) pada lafaz la raiba fihi kemudian melanjutkan bacaanya dari fihi hudal lil munaqin.
Melakukan waqaf pada firman-Nya, "Ia raiba fihi lebih utama karena berdasarkan ayat yang telah kami sebut tadi, karena lafaz hudan menjadi sifat Al-Qur'an (yakni kitab Al-Qur'an ini tidak diserukan lagi, di dalamnya terkandung petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa). Makna ini lebih balig (kuat) daripada fihi hudan (kitab Al-Qur'an ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa).

Lafaz hudan bila ditinjau dari segi bahasa dapat dianggap marfu' karena menjadi na'at (sifat), dapat pula dianggap mansub karena menjadi hal (keterangan keadaan). Hidayah ini dikhususkan bagi mereka yang bertakwa, seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:

قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدىً وَشِفاءٌ وَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِي آذانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى أُولئِكَ يُنادَوْنَ مِنْ مَكانٍ بَعِيدٍ
Katakanlah, "Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedangkan Al-Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.”(Fushshilat: 44)

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَساراً
Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (Al-Isra: 82)

Masih banyak ayat lainnya yang menunjukkan makna bahwa hanya orang-orang mukminlah yang beroleh manfaat dari Al-Qur'an, karena diri orang mukmin itu sendiri sudah merupakan petunjuk. Akan tetapi, yang beroleh petunjuk itu hanya mereka yang bertakwa. sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفاءٌ لِما فِي الصُّدُورِ وَهُدىً وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Tuhan kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Yunus: 57)

As-Saddi meriwayatkan dari Malik, dari Abu Saleh. dari Ibnu Abbas; As-Saddi juga meriwayatkannya dari Murrah Al-Hamadani, dari Ibnu Mas'ud dan darisejumlah sahabat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam. mengenai makna hudal lil muttaqin. Makna yang dimaksud ialah cahaya bagi orang-orang yang bertakwa.
Abu Rauq meriwayatkan dari Dahhak, dari Ibnu Abbas mengenai hudal lil muttaqin. Ia mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang mukmin yang menjauhkan diri dari kemusyrikan terhadap Allah, dan mereka selalu beramal dengan taat kepada-Nya.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad maula Zaid ibnu Sabit, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas mengenai makna al-muttaqin. Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang takut terhadap siksaan Allah dalam meninggalkan hidayah yang mereka ketahui, dan mereka mengharapkan rahmat-Nya dalam membenarkan apa yang didatangkan-Nya.

Sufyan As-Sauri menceritakan dari seorang lelaki, dari Al -Hasan Al-Basri mengenai firman-Nya, "lil muttaqin." Al-Hasan mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang memelihara diri dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan menunaikan hal-hal yang telah difardukan-Nya.

Abu Bakar ibnu Iyasy mengatakan bahwa Al-A'masy pernah bertanya kepadanya mengenai makna al-muttaqin. Maka dijawabnya, "Tanyakanlah masalah ini kepada Al-Kalbi." Dia menanyakan kepada Al-Kalbi, dan Al-Kalbi menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar. Kemudian Abu Bakar ibnu Iyasy berkata lagi, "Ketika aku merujuk kepada Al-A'masy mengenai apa yang dikatakan oleh Al-Kalbi, ternyata Al-Kalbi mempunyai pendapat yang sama denganku dan tidak memprotesnya."
Qatadah mengatakan bahwa muttaqin adalah orang-orang yang disebut di dalam firman Allah Swt. pada ayat berikutnya:

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salat. (Al-Baqarah: 3)

Sedangkan Ibnu Jarir berpendapat bahwa makna ayat mencakup semua yang telah dikatakan oleh pendapat-pendapat di atas.

Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadis melalui riwayat Abu Uqail (yaitu Abdullah ibnu Uqail), dari Abdullah ibnu Yazid, dari Rabi'ah ibnu Yazid dan Atiyyah ibnu Qais, dari Atiyyah As-Saddi yang menceritakan bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam. pernah bersabda:

«لَا يَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُونَ مِنَ الْمُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لَا بَأْسَ بِهِ حَذَرًا مِمَّا بِهِ بَأْسٌ»
Seorang hamba masih belum mencapai golongan orang-orang bertakwa sebelum dia meninggalkan hal-hal yang tidak mengapa karena menghindari hal-hal yang mengandung apa-apa (dosa).

Menurut Imam Turmuzi, hadis ini berpredikat hasan garib.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Imran, dari Ishaq ibnu Sulaiman —yakni Ar-Razi—, dari Al-Mugirah ibnu Muslim, dari Maimun Abu Hamzah yang menceritakan bahwa ketika ia sedang duduk di dekat Abu Wa'il, masuklah seorang lelaki yang dikenal dengan julukan Abu Arif, salah seorang murid Mu'az. Syaqiq ibnu Salamah berkata kepadanya, "Hai Abu Arif, tidakkah engkau menceritakan kepada kami apa yang telah dikatakan oleh Mu'az ibnu Jabal?" Ia menjawab, "Tentu saja, aku pernah mendengarnya mengatakan bahwa kelak di hari kiamat umat manusia ditahan dalam suatu tempat. kemudian ada suara yang menyerukan, 'Di manakah orang-orang yang bertakwa?' Lalu mereka (orang-orang yang bertakwa) bangkit berdiri di bawah naungan Tuhan Yang Maha Pemurah; Allah menampakkan diri kepada mereka dan tidak menutup diri-Nya. Aku bertanya, 'Siapakah orang-orang yang bertakwa itu?' Mu'az menjawab, 'Mereka adalah kaum yang menghindarkan diri dari kemusyrikan dan penyembahan berhala, dan mereka mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah Swt. semata,' lalu mereka masuk ke dalam surga."

Al-huda menunjukkan makna hal yang mantap di dalam kalbu berupa iman. Tiada yang mampu menciptakannya di dalam kalbu hamba-hamba Allah selain Allah Swt. sendiri, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi. (Al-Qashash: 56)

لَيْسَ عَلَيْكَ هُداهُمْ
Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk (Al-Baqarah: 272)

مَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلا هادِيَ لَهُ
Barang siapa yang Allah sesatkan. maka baginya tak ada orang yang akan memberi petunjuk (Al-A'raf: 186)

مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِداً
Barang siapa   diberi petujuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan   mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberinya petunjuk kepadanya. (Al-Isra: 97)

Masih banyak ayat lainnya yang menunjukkan makna yang sama. Lafaz Al-huda adakalanya dimaksudkan sebagai keterangan dan penjelasan mengenai perkara yang hak, penunjukan dan bimbingan kepadanya, sebagaimana makna yang terkandung di dalam firman-Nya:

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلى صِراطٍ مُسْتَقِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Asy-Syura: 52)

إِنَّما أَنْتَ مُنْذِرٌ وَلِكُلِّ قَوْمٍ هادٍ
Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk. (Ar-Ra'd: 7)

وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْناهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمى عَلَى الْهُدى
Dan adapun kaum Samud. maka mereka Kami beri petunjuk. tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu. (Fushshilat: 17)

وَهَدَيْناهُ النَّجْدَيْنِ
Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (Al-Balad: 10)

Sebagian orang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan an-naj-dain ialah jalan kebaikan dan jalan keburukan: penafsiran ini lebih kuat daripada yang lainnya.
At-taqwa makna asalnya ialah mencegah diri dari hal-hal yang tidak disukai, mengingat bentuk asalnya adalah qawa yang berasal dari al-wiqayah (pencegahan). An-Nabigah (salah seorang penyair Jahiliah terkenal) mengatakan:

سَقَطَ النَّصِيفُ وَلَمْ تُرِدْ إِسْقَاطَهُ ... فَتَنَاوَلَتْهُ وَاتَّقَتْنَا بِالْيَدِ
Penutup kepalanya terjatuh, padahal dia tidak bermaksud menjatuhkannya. maka dia memungutnya seraya menutupi wajahnya  menghindar dari pandangan kami dengan tangannya.

Penyair lain mengatakan:

فَأَلْقَتْ قِنَاعًا دُونَهُ الشَّمْسُ وَاتَّقَتْ ... بِأَحْسَنِ مَوْصُولَيْنِ كَفٌّ وَمِعْصَمُ
Dia menanggalkan penutup kepala yang melindunginya dari sengatan sinar matahari, kemudian ia menghindarkan (wajahnya dari sinar matahari) dengan dua persendiannya yang tercantik, yaitu telapak tangan dan lengannya.

Menurut suatu riwayat, Umar ibnul Khattab r.a. pernah bertanya kepada Ubay ibnu Ka'b tentang makna takwa. maka Ubay ibnu Ka'b balik bertanya, "Pernahkah engkau menempuh jalan yang beronak duri?" Umar menjawab, "Ya, pernah." Ubay ibnu Ka'b bertanya lagi, "Kemudian apa yang kamu lakukan?" Umar menjawab, "Aku bertahan dan berusaha sekuat tenaga untuk melampauinya." Ubay ibnu Ka'b berkata, "Itulah yang namanya takwa." Pengertian ini disimpulkan oleh Ibnul Mu'taz melalui bait-bait syairnya, yaitu:

خَلِّ الذُّنُوبَ صَغِيرَهَا ... وَكَبِيرَهَا ذَاكَ التُّقَى
وَاصْنَعْ كماش فوق أرض ... الشَّوْكِ يَحْذَرُ مَا يَرَى
لَا تَحْقِرَنَّ صَغِيرَةً ... إِنَّ الْجِبَالَ مِنَ الْحَصَى
Lepaskanlah semua dosa, baik yang kecil maupun yang besar, itulah namanya takwa. Berlakulah seperti orang yang berjalan di atas jalan yang beronak duri. selalu waspada menghindari duri-duri yang dilihamya. Dan jangan sekali-kali kamu meremehkan sesesuatu yang kecil (dosa kecil). sesungguhnya bukit itu terdiri atas batu-batu kerikil yang kecil-kecil.

Abu   Darda di suatu hari pernah mengucapkan syair-syair berikut:

يُرِيدُ الْمَرْءُ أَنْ يُؤْتَى مُنَاهُ ... وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا مَا أَرَادَا
يَقُولُ الْمَرْءُ فَائِدَتِي وَمَالِي ... وَتَقْوَى اللَّهِ أَفْضَلُ مَا اسْتَفَادَا
Manusia selalu mengharapkan agar semua yang didambakannya dapat tercapai, tetapi Allah menolak kecuali apa yang Dia kehendaki. Seseorang mengatakan.Keuntunganku dan hartaku" padahal takwa kepada Allah merupakan keuntungan yang paling utama.

Di dalam kitab Sunan Ibnu Majah disebutkan dari Abu Umamah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"مَا اسْتَفَادَ الْمَرْءُ بَعْدَ تَقْوَى اللَّهِ خَيْرًا مِنْ زَوْجَةٍ صَالِحَةٍ، إِنْ نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ، وَإِنْ أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ، وَإِنْ أَقْسَمَ عَلَيْهَا أَبَرَّتْهُ، وَإِنَّ غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ"
Tiada keuntungan yang paling baik bagi seseorang sesudah takwa kepada Allah selain dari istri yang saleh; jika dia memandangnya, membuat dia bahagia; dan jika dia memerintahnya, ia taat; jika melakukan giliran terhadapnya, maka ia berbakti; dan jika dia tidak ada di tempat, meninggalkannya, maka ia memelihara diri dan harta suaminya.



Demikian kami paparkan penjelasan dan makna dari Surat Al Baqarah ayat 2. Semoga yang sedikit ini menjadi bermanfaat untuk diri kami dan untuk pembaca sekalian.
Yang benar datangnya hanyalah dari Allah Azza Wa Jalla dan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam, dan mohon maaf jika ada kesalahan dari Kami.

Wallahu 'alam bishawab.
Assalamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.




Disalin dan diterbitkan pada Jum'at Barokah, 1 Maret 2019 / 24 Jumadil akhir 1440 H

Tulisan ini bersumber dari :
Tafsir Ibnu Katsir Format CHM by kampungsunnah.org
Link download :  https://islamdownload.net/123997-download-tafsir-ibnu-katsir.html


Selasa, 15 Mei 2018

Puasa Ramadhan dan Pengampunan Dosa


Allah dan Rasul-Nya memberikan targhib (spirit) untuk melakukan puasa Ramadhan dengan menjelaskan keutamaan serta tingginya kedudukan puasa, dan kalau seandainya orang yang puasa mempunyai dosa seperti buih di lautan niscaya akan diampuni dengan sebab ibadah yang baik dan diberkahi ini. 
Dari Abu Hurairah رضي الله عنه dari Nabi صلى الله عليه وسلم, (bahwasanya) beliau bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

"Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh iman dan ihtisab maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu"1
Dari Abu Hurairah رضي الله عنه juga, -Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah bersabda:

اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ

"Shalat yang lima waktu, Jum'at ke Jum'at. Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa yang terjadi di antara senggang waktu tersebut jika menjauhi dosa besar" (HR. Muslim  233)
Masih dari Abu Hurairah رضي الله عنه juga, (bahwasanya) Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah naik mimbar kemudian berkata: Amin, Amin, Amin" Ditanyakan kepadanya: "Ya Rasulullah, engkau naik mimbar kemudian mengucapkan Amin, Amin, Amin?" Beliau bersabda: "Sesungguhnya Jibril عليهالسلام datang kepadaku, dia berkata : "Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan tapi tidak diampuni dosanya maka akan masuk neraka dan akan Allah jauhkan dia,  katakan "Amin", maka akupun mengucapkan Amin...."2


Wasallamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
29 sya'ban 1439 H


Footnote :.
1) Hadits Riwayat Bukhari 4/99, Muslim 759. Makna "Iimanan wahtisaaban”berarti percaya sepenuhnya akan kewajiban puasa tersebut serta mengharapkan pahalanya. Menjalankan puasa dengan sepenuh jiwa tanpa adanya unsur keterpaksaan dan tidak juga merasa keberatan umntuk menjalaninya. Berikut ini ungkapan seseorang yang mempunyai gelar Amiirusy Syua’ara’, yaitu Ahmad Syauqi:
“Ramadhan telah berlalu,
datangkanla ia kembali.
Jiwa yang penuh kerinduan,
berjalan mengejar yang dirindukan.”

2) Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 3/192 dan Ahmad 2/246 dan 254 dan Al-Baihaqi 4/204 dari jalan Abu Hurairah. Hadits ini shahih, asalnya terdapat dalam Shahih Muslim 4/1978. Dalam bab ini banyak hadits dari beberapa orang sahabat, lihatlah dalam Fadhailu Syahri Ramadhan hal.25-34 karya Ibnu Syahin.

Senin, 14 Mei 2018

MENYAMBUT BULAN RAMADHAN



1. Menghitung Hari Bulan Sya'ban

Umat Islam seyogyanya menghitung bulan Sya'ban sebagai persiapan memasuki Ramadhan. Karena satu bulan itu terkadang dua puluh sembilan hari dan terkadang tiga puluh hari, maka berpuasa (itu dimulai) ketika melihat hilal bulan Ramdhan. Jika terhalang awan hendaknya menyempurnakan  bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari. Karena Allah menciptakan langit-langit dan bumi serta menjadikan tempat-tempat tertentu agar manusia mengetahui jumlah tahun dan hisab. Satu bulan tidak akan lebih dari tiga puluh hari.
Dari Abu Hurairah رضي الله عنه, ia berkata: Rasulullah صلي الله عليه وسلم     bersabda:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

"Puasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah karena melihat hilal. Jika kalian terhalangi awan, sempurnakanlah bulan Sya'ban tiga puluh hari" (HR. Bukhari 4/106 dan Muslim 1081).
Dari Abdullah bin Umar رضى الله عنهما, (bahwasanya) Rasulullah صلي الله عليه وسلم  bersabda:

إِذَا جَاءَ رَمَضَانَ فَصُومُوا ثَلاَثِيْنَ إِلاَّ أَنْ تَرَوُا الْـهِلاَلَ قَبْلَ ذَلِكَ

"Jika datang bulan Ramadhan puasalah tiga puluh hari, kecuali kalian melihat hilal sebelum hari ke tiga puluh."
Hadits Riwayat [HR.] At-Thahawi dalam Musykilul Atsar No. 501, Ahmad 4/377, At-Thabrani dalam Al-Kabir 17/171. Dalam sanadnya ada Musalin bin Sa'id, beliau dhaif sebagaiamana dikatakan oleh Al-Haitsami dalam Majma Az-Zawaid 3/146, akan tetapi hadits ini mempunyai banyak syawahid, lihat Al-Irwaul Ghalil 901, karya Syaikhuna Al-Albany.

2. Barangsiapa yang Berpuasa Hari Syak, Berarti (ia) Telah Durhaka Kepada Abul Qasim صلى الله عليه وسلم

Oleh karena itu, seorang muslim tidak seyogyanya mendahului bulan puasa dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya dengan alasan hati-hati, kecuali kalau bertepatan dengan puasa sunnah yang biasa ia lakukan. Dari Abu Hurairah رضي الله عنه, ia berkata : Rasulullah صلي الله عليه وسلم  bersabda.

لَا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ, إِلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا, فَلْيَصُمْهُ

"Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali seorang yang telah rutin berpuasa maka berpuasalah" (HR. Muslim (573 -Mukhtashar dengan Muallaqnya))
Ketahuilah wahai saudaraku, di dalam Islam barangsiapa yang puasa pada hari yang diragukan, (berarti ia) telah durhaka kepada Abul Qasim Rasulullah صلي الله عليه وسلم. Shillah bin Zyfar dari Ammar membawakan perkataan Ammar bin Yasir:

مَنْ صَامَ اَلْيَوْمَ اَلَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا اَلْقَاسِمِ صلى الله عليه وسلم

"Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan berarti telah durhaka kepada Abul Qasim صلي الله عليه وسلم"
Dibawakan tanpa sanad oleh Bukhari 4/119, dimaushulkan oleh Abu Daud 3334, Tirmidzi 686, Ibnu Majah 3334, An-Nasa'i 2199 dari jalan Amr bin Qais Al-Mala'i dari Abu Ishaq dari Shilah bin Zufar, dari Ammar. Dalam sanadnya ada Abu Ishaq, yakni As-Sabi'in mudallis dan dia telah 'an-anah dalam hadits ini, dia juga telah bercampur hafalannya, akan tetapi hadits ini mempunyai banyak jalan dan mempunyai syawahid (pendukungnya) dibawakan oleh Al-Hafizd Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Ta'liqu Ta'liq 3/141-142 sehingga beliau menghasankan hadits ini.

3. Jika Seorang Muslim Telah Melihat Hilal Hendaknya Kaum Muslimin Berpuasa atau Berbuka

Melihat hilal teranggap kalau ada dua orang saksi yang adil, berdasarkan sabda Rasulullah صلي الله عليه وسلم:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا

"Berpuasalah kalian karena melihat hilal, berbukalah kalian karena melihatnya, berhajilah kalian karena melihat hilal, jika kalian tertutup awan, maka sempurnakanlah (bilangan bulan Sya'ban menjadi) tiga puluh hari, jika ada dua saksi berpuasalah kalian dan berbukalah"

HR. An-Nasa'i 4/133, Ahmad 4/321, Ad-Daruquthni 2/167 dari jalan Husain bin Al-Harist Al-jadal dari Abdurrahman bin Zaid bin Al-Khaththab dari para sahabat Rasulullah صلي الله عليه وسلم, dan sanadnya hasan. Lafadz di atas adalah pada riwayat An-Nasa'i, Ahmad menambahkan : "Dua orang muslim".

Tidak diragukan lagi, bahwa diterimanya persaksian dua orang dalam satu kejadian tidak menunjukkan persaksian seorang diri itu ditolak, oleh karena itu persaksian seorang saksi dalam melihat hilal tetap teranggap (sebagai landasan untuk memulai puasa), dalam suatu riwayat yang shahih dari Ibnu Umar رضى الله عنهما, ia berkata : "Manusia mencari-cari hilal, maka aku khabarkan kepada Nabi صلي الله عليه وسلم  bahwa aku melihatnya, maka Rasulullah-pun menyuruh manusia berpuasa.

HR. Abu Dawud 2342, Ad-Darimi 2/4, Ibnu Hibban 871, Al-Hakim 1/423, Al-Baihaqi 4/212 dari dua jalan, yakni dari jalan Ibnu Wahb dari Yahya bin Abdullah bin Salim dari Abu Bakar bin Nafi' dari bapaknya dari Ibnu Umar, sanadnya Hasan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At-Talkhisul Habir 2/187


Wallahu 'alam Bishawab.

Semoga yang sedikit ini menjadi manfaat buat kita.
Wasallamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Jakarta, 28 Sya'ban 1439 H