basukidwiputranto.blogspot.com

basukidwiputranto.blogspot.com

Senin, 27 Januari 2014

Kekeliruan Muncul Saat Berpaling Dari Wahyu

Hai orang-orang yang beriman,
jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita,
maka periksalah dengan teliti,
agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada kaum
tanpa mengetahui keadaannya
yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah.
Kalau ia menuruti (kemauan) kamu sekalian dalam beberapa urusan
benar-benarlah kalian akan mendapatkan kesusahan,
tetapi Allâh menjadikan kalian cinta kepada keimanan
dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu
serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan.
Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.
Sebagai karunia dan nikmat dari Allâh.
Dan Allâh Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(Qs. al-Hujurat/49 : 6-8)

SEBAB TURUNNYA AYAT YANG PERTAMA

Imam Ahmad rahimahullâh meriwayatkannya dalam hadits yang panjang, di antara isinya:

Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengutus al-Walid bin ‘Uqbah untuk menemui al-Harits (bin Abi Dhirar al-Khuza’i dari Bani Musthaliq) untuk mengambil zakat yang sudah dikumpulkan. Tatkala al-Walid telah menempuh beberapa jalan, ia takut dan pulang, kemudian menjumpai Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam seraya berkata:

“Wahai Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, al-Harits menghalangiku untuk mengambil zakat dan berusaha membunuhku,”

Maka Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menyiapkan pasukan menuju al-Harits. Al-Harits datang bersama teman-temannya (menuju Madinah). Delegasi (Nabi) menjumpainya dan mengetahuinya : “Itu al-Harits”.

Ketika al-Harits sudah mendekati delegasi tersebut, ia bertanya: “Kalian diperintahkan pergi kemana?”

Mereka menjawab: “Kepadamu (wahai al-Harits),”

Ia bertanya : “Apa sebab?”

Mereka menjawab : “Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah mengutus al-Walid bin ‘Uqbah kepadamu. Menurutnya, engkau menghalanginya mengambil zakat dan ingin membunuhnya,”

Ia (al-Harits) menampik : “Tidak, demi Dzat yang mengutus Muhammad dengan al-haq, aku tidak pernah melihatnya, ia tidak pernah mendatangiku”.

Ketika kemudian al-Harits menemui Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berkata : “Engkau menolak membayar zakat dan ingin membunuh utusanku?”

Ia (al-Harits) menjawab : “Tidak, demi Dzat yang mengutus Muhammad dengan al-haq, aku tidak pernah melihatnya, ia tidak pernah mendatangiku. Dan tidaklah aku datang (sekarang ini), kecuali karena utusan Rasûlullâh tidak muncul. Aku khawatir kalau hal itu (ketidak hadiran utusan beliau untuk mengambil zakat, Pen) karena adanya kemurkaan dari Allâh Ta'ala dan RasulNya,” maka turunlah ayat ini. [1]

PENJELASAN AYAT

Sebagai penjelasan ayat pertama, kami kutipkan penjelasan dari Syaikh as Sa’di rahimahullâh yang menyatakan :

“Ini juga (merupakan) beberapa adab yang harus dipenuhi dan digunakan oleh orang-orang yang berakal. Yaitu, apabila ada seorang fasik yang datang dengan membawa berita kepada mereka (kaum Muslimin), hendaknya mereka melakukan tatsabbut (klarifikasi) terhadap beritanya, tidak dengan serta merta mengambilnya begitu saja. Karena tindakan ini bisa mengakibatkan bahaya yang besar dan terjatuh dalam perbuatan dosa. Jika beritanya dianggap seperti kabar yang dibawa orang jujur lagi adil, dan dilaksanakan kandungannya, maka akan timbul lenyapnya jiwa dan harta tanpa alasan yang dibenarkan, lantaran isi dari berita (yang tidak benar) itu, yang akhirnya menimbulkan penyesalan. Yang wajib dilakukan terhadap berita orang fasik adalah tatsabbut dan tabayyun (klarifikasi dan konfirmasi). Kalau ada bukti dan kondisi yang menunjukkan kejujurannya, maka bisa dilaksanakan dan dibenarkan. Namun apabila mengindikasikan sebuah kedustaan belaka, maka harus diingkari dan tidak perlu diikuti”.[2]

Ayat ini, kendatipun turun berkenaan dengan sebab tertentu, hanya saja kandungannya umum dan menjadi prinsip dasar penting. Maka kewajiban seseorang, komunitas, negara, tidak boleh menerima sebuah berita yang sampai kepada mereka dan tidak melaksanakan substansinya, kecuali setelah tatsabbut dan tabayyun yang tepat. Karena dikhawatirkan akan menimpakan keburukan kepada seseorang ataupun masyarakat tanpa alasan. (Jadi) memegangi prinsip tatsabbut dan tabayyun dalam menyeleksi berita dari seseorang adalah wajib, yang berguna untuk menjaga kehormatan individu-individu dan pemeliharaan terhadap jiwa dan harta mereka. [3]

Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasûlullâh

Firman Allâh Ta'ala di atas, maknanya, seperti dikatakan Imam Ibnu Katsir rahimahullâh :

“Ketahuilah bahwa di tengah kalian ada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Agungkan dan muliakanlah beliau. Bersikaplah dengan penuh etika saat bersamanya. Tunduklah kalian pada perintahnya. Sebab beliau orang yang paling mengetahui tentang maslahat bagi kalian dan lebih sayang kepada kalian daripada diri kalian sendiri. Daya pertimbangan beliau tentang kalian lebih sempurna dari pemikiran kalian, seperti makna firman Allâh Ta'ala :

Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.
(Qs. al-Ahzab/33:6)

Syaikh Abu Bakar al-Jazairi rahimahullâh di dalam tafsirnya menyatakan, Allâh ingin mengarahkan pandangan kaum Muslimin (para sahabat, Pen) pada sebuah substansi penting yang mereka lalaikan. Yaitu, tentang keberadaan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam di tengah-tengah mereka, dengan wahyu yang turun kepada beliau. Kondisi ini menuntut mereka untuk senantiasa bertutur kata jujur dan bertindak elegan. Kalau tidak, niscaya wahyu akan membuka kedok (kesalahan) mereka secara langsung, jika mereka berdusta.[4]

Kalau ia menuruti (kemauan) kamu sekalian dalam beberapa urusan
benar-benarlah kalian akan mendapatkan kesusahan

Tentang ayat di atas, Imam at Tirmidzi rahimahullâh meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Nadhrah rahimahullâh, dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallâhu'anhu. Tatkala sahabat yang mulia ini membaca ayat di atas, ia berkomentar :

Ini nabi kalian, diwahyukan kepada beliau wahyu.
Dan mereka (para sahabat) adalah tokoh-tokoh (dari kalangan) kalian.
Seandainya beliau mengikuti mereka dalam banyak urusan,
niscaya mereka akan terjerumus dalam kesulitan.
Bagaimana dengan kalian sekarang? [5]

Artinya, kalau beliau mentaati mereka dalam setiap perkara yang mereka pandang (baik) dan mereka usulkan, niscaya mereka akan terjerembab dalam berbagai permasalahan yang menyeretnya kepada beragam kesulitan yang tidak terpikul, atau bahkan tidak menutup kemungkinan pada dosa-dosa yang besar. [6] Hal ini seperti kandungan firman Allâh Ta'ala : [7]

Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka,
pasti binasalah langit dan bumi ini dan semua yang ada di dalamnya.
Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka
tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.
(QS al Mukminun : 71)

Manusia, meskipun fitrahnya lurus, ia sangat membutuhkan bimbingan al-Kitab dan Sunnah untuk mengetahui kebaikan. Sebab, ada saja yang tidak diketahui olehnya, sehingga suatu kebaikan dianggap sebagai kejelekan dan sebaliknya. Akhirnya penilaian pun keliru.

Di dalam Shahihain, dari sahabat Huzhaifah radhiyallâhu'anhu, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menceritakan keadaan masa mendatang :

Orang-orang nantinya akan saling melakukan transaksi jual-beli.
Hampir-hampir tidak ada seorang pun yang amanah.
Sehingga akan didengungkan “di kalangan Bani Fulan ada orang yang amanah,”
maka orang itu dipuji : “Alangkah cerdas, beruntung dan kuat dirinya,”
padahal ia tidak memiliki kadar keimanan seberat biji sawi sekalipun. [8]

Bagaimanapun ketinggian ilmu dan keshalihan seseorang, ada saja kebaikan yang tidak diketahuinya. Ketidaktahuan semacam ini juga terjadi pada generasi terbaik, generasi sahabat. Bagaimana dengan generasi lainnya? Tentu sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, merujuk kepada al-Kitab dan Sunnah menjadi keharusan bagi setiap muslim.

Syaikh Abdul Malik Ramdhani rahimahullâh mengatakan[9]:

“Firman Allâh (yang kedua) di atas, redaksinya mengarah kepada sebaik-baik orang yang beribadah kepada Allâh dan memahami syariat-Nya (para sahabat, Pen). Seandainya mereka dibiarkan begitu saja tanpa diberi penjelasan dari al-Kitab dan Sunnah, niscaya pilihan mereka dalam banyak hal benar-benar akan mengandung kesulitan bagi mereka sendiri. Bagaimana dengan orang yang kualitasnya di bawah mereka?”

Sebagai contoh, ada sebagian sahabat yang mengira, kalau meninggalkan wanita secara mutlak itu menggambarkan sifat ‘iffah dan kesempurnaan dalam beribadah. Maka Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam pun melarangnya, karena ada unsur kesulitan yang timbul, selain karena bertentangan dengan fitrah.

Dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallâhu'anhu, ia berkata :

Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
menolak tabattul[10] dari ‘Utsman bin Mazh’un.
Andai beliau membolehkannya, niscaya kami akan mengebiri diri kami.
(Muttafaqun ‘alaih)

Atau riwayat lain yang menceritakan bahwa Mu’adz radhiyallâhu'anhu, tatkala pulang dari Syam, ia sujud di hadapan beliau. Maka Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengatakan:

“Apa-apaan ini, wahai Mu’adz?”
Dia menjawab,”Aku baru datang dari Syam.
Kedatanganku menepati mereka (orang-orang di sana) sedang sujud
untuk uskup dan pendeta-pendeta mereka.
Maka aku ingin melakukannya kepadamu,”
Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab,
”Janganlah kalian lakukan. Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk bersujud,
maka akan kuperintahkan istri untuk bersujud kepada suaminya.” [11]

Dalam hadits di atas, Mu’adz radhiyallâhu'anhu ingin sujud kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sebagai bentuk penghormatan. Namun Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melarangnya dan menjelaskan tindakan yang ia anggap baik itu berseberangan dengan prinsip paling penting dalam Islam, yaitu tauhid, sehingga Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengingkarinya.

Maka, tidak diragukan lagi, penghormatan kepada orang-orang yang besar dengan cara bersujud mengandung unsur kesulitan yang besar. Di tambah lagi adanya penyimpangan dalam syariat sehingga merubah tatanan nilai. Realita yang ada, percampuran lelaki dan perempuan tidak dipandang masalah, pembatasan anak disebut sebagai wujud kesadaran ekonomi, saling bersalaman usai shalat fardhu dan kebiasaan-kebiasaan lainnya yang bertentangan dengan aturan agama disangka sebagai bagian dari agama. Sehingga keberadaan wahyu mutlak diperlukan oleh setiap manusia.

Tetapi Allâh menjadikan kalian cinta kepada keimanan
dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu
serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan

Tetapi karena Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam membimbing kalian dan Allâh Ta'ala telah menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikannya indah di hati-hati kalian, lantaran Allâh memasukkan kecintaan kepada al-haq dan mengutamakannya pada kalbu-kalbu kalian. Dan juga lantaran tegaknya bukti dan petunjuk bagi al-haq yang menunjukkan kebenarannya, hati yang mudah menerima, serta taufik-Nya bagi kalian untuk ber-inabah (kembali) kepada-Nya. Dia menjadikan kalian benci kepada al-kufru dan fusuq, yaitu dosa-dosa besar, serta ‘ishyan, yaitu tingkatan dosa yang di bawahnya melalui rasa benci yang Allâh letakkan di hati-hati kalian dan tiadanya kehendak untuk mengerjakannya, juga melalui tegaknya dalil dan bukti mengenai keburukannya, serta karena fitrah manusia tidak menerimanya.[12]

Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus

Mereka itu (para sahabat Rasûlullâh radhiyallâhu'anhum, Pen) berada di atas jalan yang lurus, mendapatkan petunjuk menuju akhlak yang baik, tidak menyimpang lagi tidak tersesat. [13]

Sebagai karunia dan nikmat dari Allâh.
Dan Allâh Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana

Karunia yang dianugerahkan kepada kalian merupakan keutamaan dan kenikmatan-Nya kepada kalian. Allâh Maha Mengetahui orang yang berhak mendapatkan hidayah dan manusia yang pantas tersesat. Demikian juga Allâh Maha Bijaksana dalam setiap firman, tindakan dan aturan syariat-Nya, serta takdir-Nya. [14]

Hidayah yang didapat para sahabat merupakan keutamaan dan anugerah dari Allâh Ta'ala bagi mereka. Allâh Maha Mengetahui niat dan kehendak yang ada pada mereka. Allâh Maha Bijaksana dalam pengaturan-Nya, dengan menjadikan para sahabat sebagai manusia-manusia yang pantas menerima kebaikan, dan menjadikan mereka sebagai umat yang paling baik secara mutlak[15]

BEBERAPA PELAJARAN DARI AYAT

Dari ayat-ayat di atas, bisa mengambil beberapa pelajaran penting, sebagai berikut : [16]

Pertama. Kita memahami, bahwa Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam memiliki kedudukan yang tinggi.

Kedua. Wajib bagi kita melakukan tatsabbut dalam menyikapi berita-berita penting yang bisa mengakibatkan timbulnya gangguan atau bahaya atas diri seseorang berkaitan dengan berita yang kita dengar.

Ketiga. Diharamkan bersikap tergesa-gesa yang dapat mengakibatkan seseorang menghukumi sesuatu dengan dasar persangkaan belaka, sehingga pelakunya nanti akan menyesal di dunia dan akhirat.

Keempat. Di antara kenikmatan besar yang diraih seorang mukmin, bahwa Allâh menjadikannya cinta terhadap keimanan kepada-Nya, dan menjadikan (iman itu) indah di hatinya.

Kelima. Allâh menjadikannya benci kepada tindakan kekufuran, kefasikan dan maksiat. Dengan itu, seorang mukmin menjadi insan yang paling lurus setelah para sahabat Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.

Washallâhu ‘ala nabiyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi ajma’in.

(Tafsir: Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X)


Posted via Blogaway

Minggu, 26 Januari 2014

Ketentuan Dasar Dakwah Salafiyah[1]

Setelah menyampaikan pujian kepada Allâh Ta'ala, bershalawat atas Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan khutbatul-hajah, kemudian Fadhilatusy-Syaikh Abu Anas Muhammad bin Musa Alu Nashr menyampaikan muhadharahnya.

Wahai saudara-saudaraku yang hadir dari dalam dan luar negeri demi menyambut kedatangan ikhwan kalian dari negeri yang jauh. Segala puji bagi Allâh Ta'ala yang telah mengumpulkan kita semua diatas ketaatan kepada Allâh Ta'ala dan manhaj salaf yang benar.

Wahai ikhwah ......
Sesungguhnya dakwah salafiyah telah mengakar kokoh dalam sejarah. Dia bukanlah dakwah yang baru lahir kemarin. Akan tetapi telah ada sejak zaman Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, bahkan sejak zaman para nabi sebelumnya. Oleh karena itu, ushul dan kaidah dakwah salafiyah tidak diambil dari akal dan ijtihad serta istihsan (anggapan baik) manusia, akan tetapi diambil dari sumbernya yang suci yaitu al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman salaful umat ini.

Diantara ma'alim ushul (ketentuan dasar) dakwah salafiyah yang terpenting adalah:

1). Dakwah salafiyah menyeru kepada asal dan rukun yang paling mendasar, yaitu kepada Tauhid dan memperingatkan dari kesyirikan, karena dakwah salafiyah merupakan lanjutan dari dakwah para nabi.

Semua dakwah yang tidak dibangun diatas azas dan rukun ini akan gagal. Ibarat membangun atap sebelum tiangnya, sehingga atapnya akan menimpa kepala penghuninya.

Umat Islam telah menuai bencana dan malapetaka dari dakwah yang tidak bersandar kepada asal dan tidak mengikuti manhaj dakwah para nabi; yaitu memulai dakwah (seruan) kepada tauhid dan pengesaan Allâh Ta'ala dalam ibadah. Seluruh nabi datang untuk menyampaikan kepada kaum mereka satu perkataan yaitu :

"Hai kaumku, sembahlah Allâh,
sekali-kali tidak ada Ilah bagimu selain-Nya."
(QS. Al-A'râf/7: 65)

Oleh karena itu dakwah salafiyah mencintai orang karena tauhid, dan membenci orang yang menyelisihi tauhid.

2). Dakwah salafiyah menyeru kepada ittiba (mengikuti) Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam saja secara lahir dan batin.

Karena Allâh Ta'ala telah menggantungkan kesuksesan dan keselamatan pada ittiba' Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.

Allâh Ta'ala berfirman:

"Dan barangsiapa yang menentang Rasul  sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam.  Dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali."
(QS. An-Nisa'/4: 115)

"Dan jika kamu ta'at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk."
(QS. An-Nûr/24:54)

"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya
takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa azab yang pedih."
(QS. An-Nûr/24: 63)

Maksudnya ditimpa fitnah dengan kesesatan dan kesyirikan. Semoga Allâh Ta'ala melindungi kita darinya. Bahkan Allâh Ta'ala menyatakan bahwa syarat untuk mencintai dan supaya dicintai Allâh Ta'ala adalah ittiba' (mengikuti) Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.

Allâh Ta'ala berfirman:

"Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allâh, ikutilah aku, niscaya Allâh akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu'.  Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(QS. Ali Imran/3 : 31)

Barang siapa yang ingin dimasukkan ke dalam golongan orang yang Allâh Ta'ala cintai, maka dia harus mengikuti jalan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam  dan merasa cukup dengan atsar (hadits) Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Oleh karena itu, syiar dakwah salafiyah adalah :

"Firman Allâh Ta'ala, sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang shahih serta manhaj dan pemahaman salaful umat".

Termasuk ketentuan dasar dakwah salafiyah adalah -berbeda dengan kelompok jamaah lainnya baik yang kuno atau yang modern- bersandar kepada pemahaman salaf secara ilmu dan amal. Maka salafi (orang yang mengikuti salaf) tidak akan mengatakan:

"Kami adalah suatu generasi yang setara dengan mereka".

Akan tetapi salafi akan mengatakan:

"Kami adalah suatu generasi yang mengikuti mereka, yang telah dipuji Allâh Ta'ala dalam firmanNya:

'Orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan  dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allâh.'
(QS. An-Nûr/24: 37)

Dan firman Allâh Ta'ala:

'Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri.  Dan Allâh menyukai orang-orang yang bersih.'
(QS. At-Taubah/9:108)

Kami mengikuti mereka, karena mereka telah mendapat ridha dari Allâh Ta'ala -Allâh Ta'ala meridhai mereka dan mereka meridhai Allâh Ta'ala-."

3). Dakwah salafiyah melakukan tasfiyah (pemurnian) terhadap Islam dari semua kebid'ahan, khurafat, kerancuan, pemikiran sesat dan falsafah yang tidak diterangkan Allâh Ta'ala.

Dakwah salafiyah melakukan tazkiyah (pensucian) terhadap jiwa kaum muslimin agar mereka beruntung.

Allâh Ta'ala berfirman:

"Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya."
(QS. Asy-Syams/91: 9-10)

Dakwah salafiyah mengambil ilmu yang murni, dari sumber yang murni dan menyampaikannya (ilmu) dalam keadaan murni. Karena jika ilmu tercampuri hadits-hadits dhaif (lemah) dan palsu, aqidah yang menyimpang lagi bathil, falsafah, kerancuan dan sampah pemikiran manusia, maka ilmu itu akan menjadi racun yang mematikan aqidah, pemikiran dan manhaj mereka. Akan memutuskan jalan mereka mencapai ridha Allâh Ta'ala.

Tasfiyah (pemurnian) dan tazkiyah (penyucian jiwa) merupakan keistimewaan dan sendi-sendi dakwah ini. Madrasah al-Imam Mujadid zaman ini al-Albany rahimahullâh telah melaksanakan peran yang cukup baik. Sebagai lanjutan dari madrasah salafiyah pertama sejak zaman Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan para sahabatnya hingga zaman ini dan sampai hari kiamat nanti.

4). Dakwah salafiyah memperhatikan ilmu dan ulama, karena asas perbaikan agama hanya bisa tegak dengan ilmu.

Lima ayat pertama yang diturunkan kepada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengajak Beliau berilmu dan memerintahkan Beliau membaca.

Allâh Ta'ala berfirman:

"Bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu Yang menciptakan,
Dia telah menciptakan manusia dengan segumpal darah.
Bacalah, dan Rabb-mu lah Yang Paling Pemurah,
Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.
Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya."
(QS. Al-'Alaq/96 : 1-5)

Qalam (alat tulis) merupakan asas dalam memperoleh ilmu. Allâh Ta'ala pergunakannya ia untuk bersumpah karena kemuliannya dan kemuliaan ilmu yang bisa dicapai.

Allâh Ta'ala berfirman:

" Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis"
(QS. Al-Qalam/68 : 1)

Kemudian Allâh Ta'ala menjadikannya sebagai makhluk pertama karena kemulian dan kemulian ilmu dan pengetahuan. Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda yang artinya:

"Makhluk pertama yang Allâh ciptakan adalah qalam
kemudian Dia berfirman:
'Tulislah!'

Qalam menjawab:
'Apa yang saya tulis?'

Allâh Ta'ala berfirman:
'Tulislah apa yang terjadi dan akan terjadi.'

Lalu qalam menulis segala sesuatu sampai hari kiamat."

Dakwah salafiyah memuliakan ulama, tetapi tidak ekstrim terhadap mereka. Karena tahu bahwa mereka adalah manusia biasa yang bisa salah dan benar. Mereka diikuti kebenarannya. Kesalahan mereka sama sekali tidak menurunkan kedudukan dan martabat mereka di dalam dakwah ini.

Dakwah salafiyah juga tidak mencela ulama rabbani yang telah menegakkan kebenaran dan berbuat adil. Ulama dakwah ini adalah mereka yang telah diakui oleh semua orang karena keimanan mereka dalam agama dan kedalaman ilmu mereka serta menjadi penerang petunjuk.

Kami telah melihat, alangkah susahnya orang awam atau orang yang berilmu setelah wafatnya imam kita yang tiga; Ibnu Baaz, al-Albany dan Ibnu Utsaimin rahimakumullâh. Mereka dan yang sekelas dengan mereka serta murid-murid mereka adalah penjaga umat ini dari kekacauan dan kesesatan, karena Ulama adalah pewaris para nabi sepanjang masa.

5). Dakwah salafiyah mengajak kaum muslimin yang mengikuti contoh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bekerjasama (ta'awun) dalam kebaikan dan taqwa, tidak mengajak para ahli bid'ah dan hizbiy (orang partai).

Hizbiy telah memecah belah umat dan membuat mereka tidak akan berpendapat kecuali dengan pendapat partai, sehingga ke-hizbiyah-an mengakar dalam hati mereka. Mereka mencintai partai atau kelompok sebagaimana Bani Israil mencintai anak sapi, wal iyadzu billah.

Mereka (orang partai) mengobarkan slogan:

"Ini dari kelompok saya dan dia dari kelompok musuh saya",

lalu bergabung dengan semua hizbiy dan menjauhi semua sunniy (orang yang mengikuti sunnah) walaupun sunniy tersebut orang paling benar dizamannya.

6). Dakwah salafiyah yang penuh barakah ini memperingatkan dan mencela fanatik golongan serta sangat membenci perpecahan.

Juga mencela dan memperingatkan pelakunya, karena Allâh Ta'ala telah mencela orang yang berpecah belah dan fanatik golongan.

Allâh Ta'ala berfirman:

"Dan janganlah kamu termasuk orang-orang
yang mempersekutukan Allâh,
yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka
dan mereka menjadi beberapa golongan.
Tiap-tiap golongan merasa bangga
dengan apa yang ada pada golongan mereka."
(QS. Ar-Rûm/30 : 31-32)

Sebagaimana Dakwah Salafiyah (berkat hidayah Allâh Ta'ala) berada di tengah-tengah antara orang yang ghuluw (ekstrim) dan orang yang taqshir (orang yang meremehkan). Mereka adalah kelompok yang adil dan tengah-tengah.

Semoga Allâh Ta'ala merahmati al-Hasan al-Bashri, ketika berkata:

"Agama kalian yang telah diturunkan kepada Nabi kalian di antara ghuluw yaitu ekstrim dan jaafi (orang yang suka meremehkan urusan)."

Demikianlah Allâh Ta'ala memberikan keistimewaan kepada umat ini berupa keadilan dan kesederhanaan.

Allâh Ta'ala berfirman:

"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam),
ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi
atas (perbuatan) kamu."
(QS. Al-Baqarah/2: 143)

Manhaj salaf mengajak kapada sikap netral dan adil dalam setiap sisi kehidupan, dalam aqidah, pemikiran, perkara dunia dan juga urusan akhirat, sesuai dengan manhaj Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan sahabatnya.

Hal ini telah dijelaskan dan dikuatkan oleh hadits-hadits dan atsar yang banyak sekali. Dan sekarang tidak mungkin saya menjelaskan lebih dari ini.

7). Dakwah salafiyah, berdakwah kepada Allâh Ta'ala berdasarkan ilmu dan keyakinan.

Dan berdakwah secara jelas dengan hujjah serta membenci kesamaran dan ketidakjelasan, slogan mereka adalah sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :

"Saya bawakan kepada kalian agama yang terang benderang;
malamnya seperti siangnya."

Oleh karena itu Beliau meninggalkan umat ini di atas agama yang terang benderang dan jalan yang lurus.

Bukan mereka yang bergerak sembunyi-sembunyi dan takut bergerak pada siang hari, menebar syubhat dan keraguan ke dalam jiwa kaum muslimin. Sehingga kaum muslimin mesti waspada terhadap mereka.

Kita tidak pernah mengetahui Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bergerak di kegelapan, akan tetapi beliau bergerak di terangnya siang hari. Maka Dakwah salafiyah terang benderang, malamnya seperti siangnya dan tidaklah tergelincir darinya kecuali orang yang binasa.

8). Dakwah salafiyah beramar makruf dan mencegah kemungkaran serta menegakkan kebenaran.

Tidak takut celaan orang yang mencela sambil tetap memperhatikan ketentuan hikmah, nasehat yang baik dan kelemah-lembutan. Karena jika kelembutan masuk pada sesuatu, akan menghiasinya dan bila hilang dari sesuatu maka akan merusaknya, serta memperhatikan mashlahat dan mafsadat, karena melihat maslahat dan mafsadat termasuk dalam fiqih dakwah.

Tidak mendapat taufiq dalam hal ini kecuali orang yang dikehendaki baik oleh Allâh Ta'ala. Ini kaidah baku, kaidah ushul yang telah ditetapkan para ulama, yaitu menghindari mafsadat (kerusakan) lebih di dahulukan dari mengambil maslahat (kebaikan).

Oleh karena itu Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda kepada Aisyah:

"Wahai Aisyah,
seandainya bukan karena kaummu
yang baru saja meninggalkan kejahiliyahan,
sungguh saya akan hancurkan ka'bah
dan saya jadikan sesuai dengan pondasi dasar Ibrahim."

Beliau tidak melakukannya karena takut mafsadat (kerusakan).

Seorang alim, pelajar dan da'i yang bermanhaj salaf seharusnya melihat segala sesuatu dengan cahaya Allâh Ta'ala dan bashirah sehingga dapat mengenal dan membedakan mana maslahat dan mafsadat.

9). Dakwah salafiyah adalah orang yang paling mengenal kebenaran dan paling sayang kepada makhluk.

Dia tidak tertipu dengan banyaknya orang dan tidak merasa kecil hati dengan sedikitnya orang yang mengikutinya, tidak tertipu dengan banyaknya orang yang celaka. Lihatlah disana ada seorang nabi yang bersamanya seorang, sekelompok dan ada nabi yang tidak memiliki pengikut seorangpun. Ini membuat mereka tidak mundur dan terhalang dari kebenaran dan dakwah yang benar.

Pada setiap masa pengikut dakwah yang benar itu sedikit, dalam hadits dijelaskan:

"Senantiasa ada sekelompok dari umatku yang menegakkan kebenaran,
tidak merugikan mereka orang yang mernyelisihinya atau menghinanya
sampai datang hati kiamat."

Lihatlah wahai kaum muslimin, wahai hamba Allâh Ta'ala kepada kebenaran yang dibawa dakwah ini dan janganlah melihat kepada banyaknya orang.

Allâh Ta'ala berfirman:

"Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih."
(QS. Saba'/34: 13)

Sebagai penutup, dakwah salafiyah beramal dengan dalil dan mengedepankan dalil atas semua pendapat orang. Menghukumi perkataan orang kepada dalil, manhaj, aqidah dan ketentuan dasar dakwah salafiyah dan tidak menghukumi ketentuan dasar dakwah salafiyah kepada pendapat orang.

Seandainya kebenaran diukur dengan pendapat orang, maka sungguh mengusap bagian bawah khuf (sepatu) lebih utama dari atasnya padahal yang benar berdasarkan dalil adalah mengusap bagian atas sepatu.

Saya sampaikan perkataan saya ini dan saya memohon kepada Allâh Ta'ala supaya kita semua diberikan kemantapan di atas manhaj salaf dan aqidah salaf sampai mati dan semoga Allâh Ta'ala menjadikan kita semua orang yang pantas bernisbat kepadanya. Sesungguhnya Allâh Ta'ala yang menguasainya dan mampu untuk menunaikannya.

[1]
Diterjemahkan oleh Ustadz Kholid bin Syamhudi dengan sedikit perubahan, dari rekaman ceramah Syaikh Abu Anas Muhammad bin Musa Alu Nashr pada pembukaan Daurah Syar'iyah fi Masaail Aqadiyah wal Manhajiyah, di Surabaya tanggal 3 Muharram 1423H atau 17 Maret 2002 M.

(Liputan Khusus: Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VI)


Posted via Blogaway

Cinta Rasulullah dan perayaan maulid

Cinta Rasûlullâh dan Perayaan Maulid

Dua kalimat di atas seakan tidak bisa terpisahkan. Mengaku cinta berarti melakukan perayaan maulid, tidak maulid berarti tidak cinta. Sehingga ada yang mengatakan, “Jika ada yang bertanya kenapa Anda melakukan perayaan maulid? Itu sama dengan dia menanyakan kenapa Anda mencintai Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam?” Sebuah ungkapan yang menggambarkan betapa cinta Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dan perayaan maulid begitu erat hubungannya.

Yang menjadi pertanyaan adalah benarkah perayaan maulid itu merupakan salah satu cara yang dibenarkan syariat dalam membuktikan cinta kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam? Pertanyaan ini layak dilontarkan, agar kecintaan kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bisa membuahkan keutamaan-keutamaan yang diinginkan, bukan sebaliknya menyeret kepada perbuatan ghuluw.

Seseorang yang mengaku cinta dan berkeinginan mengagungkan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam tidak berarti bebas mengekspresikan cintanya dengan cara-cara yang diinginkan atau cara yang dipandang baik tanpa landasan syariat. Lihatlah saat salah seorang Sahabat Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam yang menampakkan rasa hormat dan cintanya kepada Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam dengan cara bersujud dihadapan Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam karena melihat penganut agama lain bersujud dihadapan para pendeta mereka. Lalu dia memandang Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam lebih layak dihormati dengan cara ini dibandingkan mereka, tapi apa tanggapan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam? Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam melarangnya dan bersabda :

لَوْ كُنْتُ آمِراً أَحَداً أَنْ يَسْجُدَ لأحَدٍ لَأمَرْتُ المَرأةَ أنْ تَسْجُدَ لِزَوجِهَا

Seandainya saya boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, maka sungguh saya sudah memerintahkan perempuan untuk sujud kepada suaminya. (HR. Ibnu Majah)

Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam melarang para Sahabatnya memuji Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam dengan pujian yang melampaui batas! Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَا تُطْرُونِي كَمَا أُطْرِيَ ابْنُ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ، فَقُولُوا: عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ

Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana kaum Nashara berlebihan dalam memuji Nabi Isa Ibnu Maryam. Sesungguhnya aku hanya seorang hamba, maka katakanlah, ‘Hamba Allâh dan Rasul-Nya’. (HR. al-Bukhâri, no. 3445)

Apa yang menyebabkan mereka melakukan hal-hal di atas? Rasa cinta dan hormat adalah jawabannya. Mereka mengekspresikan rasa cinta dan hormat itu dengan cara yang mereka pandang baik, namun ternyata ditolak dan dilarang oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam.

Berbagai peristiwa ini hendaknya mendorong kita menempuh cara-cara yang benar dalam merealisasikan rasa cinta kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam. Hendaknya kita menjadikan perintah-perintah serta larangan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam sebagai tolok ukur kebenaran, juga praktek-praktek yang dilakukan oleh para Sahabat Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam. Karena mereka adalah orang-orang yang mendapatkan ridha dari Allâh Ta'âla dan mereka juga orang-orang yang sangat mencintai dan mengagungkan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam, sebagaimana ungkapan Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi , “Saya sudah diutus kepada banyak penguasa dan saya tidak pernah melihat satu penguasa pun yang diagungkan oleh pengikutnya sebagaimana Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam diagungkan oleh para Sahabatnya.”

Oleh karena itu, amalan-amalan mereka harus dijadikan patokan untuk menilai kelurusan suatu amalan yang dilakukan oleh orang-orang berikutnya. Perayaan maulid diantara, yang harus diukur keabsahannya dengan praktek mereka. Jika perayaan itu dianggap ibadah, adakah diantara para Sahabat yang pernah melakukannya? Jika tidak pernah, mengapa mereka tidak melakukannya? Apakah ini berarti tidak mencintai Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam?

Setiap insan yang beriman mesti akan mengatakan bahwa para Sahabat itu adalah orang-orang yang sangat mencintai Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam, bahkan mereka siap berkorban apa saja demi mendukung dan membela Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam. Mereka juga sudah mengetahui sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam yang mewajibkan pengikutnya untuk mendahulukan cinta kepadanya di atas cinta-cinta kepada semua makhluk, termasuk kepada dirinya sendiri. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَ وَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

Tidak akan sempurna iman salah seorang diantara kalian sampai ia menjadikan aku lebih dia cintai daripada cintanya kepada anak, orang tua dan semua manusia. (HR al-Bukhâri)

Jika perayaan maulid itu merupakan salah satu cara mengungkapkan cinta yang dibenarkan dalam syariat tentu mereka sudah melakukannya. Ketiadaan perayaan Maulid Nabi pada saat Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam masih hidup dan setelah Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam sudah wafat menunjukkan bahwa perayaan itu tidak termasuk cara yang benar dalam mengekspresikan cinta kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam. Taat kepada perintah-perintah Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dan menjauhi larangan-larangan Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam adalah bukti cinta yang sebenarnya. Semoga Allâh Ta'âla senantiasa menganugerahkan kepada kita semua cinta kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam.

(Tajuk: Majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVII)


Posted via Blogaway