basukidwiputranto.blogspot.com

basukidwiputranto.blogspot.com

Senin, 29 April 2019

TAFSIR SURAH AL BAQARAH 185


Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

 “Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat inggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”
(QS.  Al Baqarah: 185)

شَهْرُ رَمَضَانَ
“Bulan Ramadan”



Imam Ath Thabari menjelaskan, “asy syahr” (bulan) dikatakan oleh sebagian ulama, berasal dari kata asy-syuhrah” artinya dikenal banyak orang. Jika dikatakan “qad syahara fulanun saifahu” artinya ‘fulan telah mengeluarkan pedang dari sarungnya lalu mengarahkannya kepada orang yang ingin diserang’. Jika dikatakan “yasyharuhu syahran” atau ”syahira syahran” artinya hilal telah nampak. Jika dikatakan “asy-harna nahnu” artinya kita telah memasuki suatu bulan”.

Beliau melanjutkan, “Sedangkan ramadhan” sebagian ahli balaghah arab menyatakan bahwa dinamakan demikian karena begitu menyengat panasnya di bulan itu, hingga bayi pun merasa kepanasan” (Tafsir Ath Thabari, 3/444).
Sebagian ulama mengatakan bahwa Ramadhan adalah salah satu nama Allah, dan mereka berpendapat tidak boleh menyebut Ramadhan tanpa didahului ‘syahru‘. Pendapat ini didasari oleh hadits:

“Jangan menyebut dengan ‘Ramadhan’ karena ia adalah salah satu nama Allah, namun sebutlah dengan ‘Bulan Ramadhan.’” (HR. Al Baihaqi 4/201).

Ibnul Jauzi dalam Al Maudhuat (2/545) mengatakan hadits ini palsu. Namun, yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh As Suyuthi dalam An Nukat ‘alal Maudhuat (41) bahwa “Hadits ini dhaif, bukan palsu”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), An Nawawi dalam Al Adzkar (475), oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari (4/135) dan Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (6768).

Dengan demikian Ramadhan bukanlah nama Allah dan boleh mengatakan ‘Ramadhan’ saja, sebagaimana pendapat jumhur ulama karena banyak hadits yang menyebutkan ‘Ramadhan’ tanpa ‘Syahru (bulan)’.


الَّذِي أُنزلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
“bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an”


Ayat ini adalah dalil bahwa Al Qur’an pertama kali diturunkan di bulan Ramadhan. Sebagaimana ayat lain:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya kami turunkan ia (Al Qur’an) di malam lailatul qadr” (QS. Al Qadr: 1)

Juga firman Allah Ta’ala:

إِنَّا أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
“Sesungguhnya kami turunkan ia (Al Qur’an) di malam yang penuh keberkahan” (QS. Ad Dukhan: 3)

Imam Ibnu Katsir memaparkan, “Allah Ta’ala memuji bulan Ramadhan diantara bulan-bulan lainnya. Yaitu dengan memilihnya sebagai bulan diturunkannya Al Qur’an Al Azhim” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/501).

Bahkan selain Al Qur’an, Ramadhan juga adalah bulan diturunkannya kitab-kitab Allah sebelumnya. Imam Ibnu Katsir membawakan dalil akan hal ini, yaitu sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

“Shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan. Taurat diturunkan pada hari ke malam ke 7 bulan Ramadhan. Injil diturunkan pada malam ke-14 Ramadhan. Sedangkan Al Qur’an diturunkan pada malam ke-25 bulan Ramadhan” (dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 1575).

Imam Ath Thabari membawakan riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa maksud dari ‘kami turunkan ia (Al Qur’an) di malam lailatul qadr‘ adalah: Al Qur’an diturunkan di malam lailatul qadar dari lauhul mahfudz ke langit dunia. Sebagaimana riwayat dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu :

“Al Qur’an diturunkan sekaligus di malam lailatul qadar pada bulan Ramadhan, ke langit dunia. Lalu setelah itu jika Allah ingin memfirmankan sesuatu ke dunia, ia (Al Qur’an) diturunkan dari langit dunia (bagian demi bagian) hingga akhirnya dikumpulkan” (Tafsir Ath Thabari, no. 2818).

Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu juga berkata:
“Allah menurunkan Al Qur’an ke langit dunia di malam lailatul qadar. Lalu setelah itu jika Allah ingin memfirmankan sesuatu, Ia mewahyukannya” (Tafsir Ath Thabari, no. 2816).


هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)”


Ibnu Katsir menjelaskan: “Ini adalah pujian Allah terhadap Al Qur’an, bahwa Ia menurunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi para hamba yang beriman kepada Al Qur’an, membenarkan serta mengikuti tuntunan Al Qur’an. Sedangkan “bayyinaat” artinya sebagai dalil dan hujjah yang jelas, terang dan gamblang bagi orang yang memahami dan mentadabburinya, sehingga menunjukkan bahwa Al Qur’an itu benar-benar sebuah petunjuk yang menafikan kesesatan dan sebuah pedoman yang menafikan penyimpangan. Al Qur’an juga diturunkan sebagai pembeda antara haq dan batil, antara halal dan haram” (Tafsir Ibni Katsir, 1/502)

Ayat ini juga dalil bahwa Al Qur’an adalah landasar hukum Islam dan ia diturunkan kepada semua manusia, mencakup muslim ataupun bukan, sebagaimana Islam. Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin berkata: “Al Qur’an adalah landasan syari’at Islam, Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam diutus bersamanya kepada seluruh manusia. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :

تَبَارَكَ الَّذِي نزلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam” (QS. Al Furqaan: 1) ” (Ushul Fiit Tafsir, 1/7)

Oleh karena itu, orang yang sudah mendengar Islam namun tidak menerimanya ia tidak bisa berkilah di hari kiamat kelak. Karena Allah telah menurunkan Al Qur’an sebagai petunjuk kebenaran dan nadziir (peringatan). Al Jashash berkata: ‘Ayat ini (Al Baqarah 185) adalah bukti akan kebatilan madzhab mujabbirah yang berpandangan bahwa Allah tidak memberikan petunjuk pada orang kafir. Karena dalam ayat ini Allah mengabarkan bahwa Ia menurunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi semua mukallaf‘ (Ahkamul Qur’an, 1/222).


فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”


Dalam Tafsir Jalalain (1/38) dijelaskan bahwa makna “syahida” di sini adalah “hadhara” artinya tidak sedang bersafar. Ibnu Katsir menerangkan bahwa makna adalah melihat istihlal (munculnya hilal) di bulan itu, dan dia orang yang muqim (tidak sedang safar) ketika memasuki bulan itu, dan badannya sehat (Tafsir Ibni Katsir, 1/503). “Asy syahra” di sini merupakan zharf zaman atau keterangan waktu, sehingga yang dimaksud adalah orang yang tidak bersafar dan sehat ketika bulan Ramadhan. Lalu di sini digunakan kata perintah “falyashum” dan kaidah fiqhiyyah mengatakan bahwa ‘hukum asal dari perintah adalah wajib‘. Sehingga ayat ini adalah dalil wajibnya berpuasa bagi orang yang tidak sedang bersafar dan sehat.


وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain”


Jika lafazh sebelumnya menjelaskan hukum puasa bagi yang tidak bersafar dan dalam kondisi sehat, maka lafazh ini menjelaskan tentang hukum puasa bagi orang yang bersafar atau sakit. Ibnu Katsir menjelaskan, “maksudnya barangsiapa yang menderita sakit hingga membahayakan dirinya jika puasa, atau minimal bisa memberikan gangguan, atau yang sedang bersafar maka mereka boleh tidak berpuasa. Jika mereka tidak berpuasa, mereka wajib menggantinya di hari-hari yang lain” (Tafsir Ibni Katsir, 1/503).
Orang yang sakit, tidak lepas dari tiga keadaan:

  1. Sakitnya ringan dan puasa tidak memberikan banyak pengaruh. Maka haram hukumnya meninggalkan puasa.
  2. Sakitnya tidak berat, namun dengan berpuasa akan memberikan kesulitan atau kesusahan. Maka makruh hukumnya berpuasa, dan dianjurkan untuk tidak berpuasa.
  3. Sakitnya berat, akan membahayakan dirinya jika puasa. Maka haram hukumnya berpuasa ketika itu (Lihat Syarhul Mumthi’, 6/341)
Safar, umumnya dipenuhi kesusahan dan kelelahan, terutama di masa itu. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Safar adalah sepotong adzab” (HR. Bukhari 1804, Muslim 1927)
Oleh karena itu Ar Rahman memberikan kemudahan kepada hambanya yang bersabar untuk tidak berpuasa. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai apakah musafir lebih utama berpuasa atau tidak? Pendapat yang kuat, hukumnya dipandang menurut keadaannya:

  1. Jika seorang musafir berpuasa atau tidak, tidak jauh berbeda keadaannya. Maka lebih utama berpuasa, walaupun tetap boleh tidak berpuasa. Karena dahulu sebagian sahabat ada yang berpuasa ketika safar bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan beliau tidak melarangnya. Selain itu dengan berpuasa di bulan Ramadhan, berarti lebih cepat menunaikan kewajiban dari pada ditunda di luar Ramadhan. Selain itu dapat menjalankan puasa bersama banyak orang, dari pada di luar Ramadhan.
  2. Jika puasa dimungkinkan memberikan kesulitan pada dirinya, maka dianjurkan tidak berpuasa.
  3. Jika puasa dipastikan memberikan kesulitan besar pada dirinya, maka haram berpuasa ketika itu (Lihat Syarhul Mumthi’, 6/344).

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”


Bolehnya musafir dan orang sakit untuk tidak berpuasa adalah bukti bahwa Allah memberikan kemudahan kepada hamba-Nya dalam syariat-Nya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
“Sesungguhnya agama itu mudah. Orang yang berlebihan dalam agama akan kesusahan. Maka istiqamahlah, atau mendekati istiqamah, lalu bersiaplah menerima kabar gembira” (HR. Bukhari no.39)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan makna hadits tersebut, “Maksudnya, agama Islam itu ringan dan mudah, baik dalam aqidah, akhlak, amal-amal ibadah, perintah dan larangannya… semuanya ringan dan mudah. Setiap mukallaf akan merasa mampu melaksanakannya, tanpa kesulitan dan tanpa merasa terbebani. Aqidah Islam itu ringan, akan diterima oleh akan sehat dan fitrah yang lurus. Kewajiban-kewajiban dalam Islam juga perkara yang sangat mudah” (Bahjah Qulub Al Abrar, 1/106).
Semua hukum syariat baik hal-hal yang wajib, sunnah, makruh ataupun haram pasti mudah, karena tidak melebihi batas kemampuan manusia. Allah Ta’ala berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani manusia kecuali sesuai kemampuannya” (QS. Al Baqarah: 286)

Bahkan, aturan syariat yang mudah inipun ketika dalam suatu keadaan seseorang mengalami kesulitan yang besar dalam melaksanakannya, maka berlaku kaidah:

“Adanya kesulitan menyebabkan timbulnya kemudahan”

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan: “Dengan semua kemudahan dalam hukum-hukum Islam ini, jika seseorang mengalami hal yang tidak biasa, yang menyebabkan dia tidak mampu atau sangat tersulitkan dalam menjalankannya, ia diberikan keringanan yang disesuaikan dengan keadaannya” (Qawa’id Wal Ushul Al-Jami’ah, 1/50).


وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya”


Lafazh ini masih membahas tentang kewajiban qadha bagi orang sakit dan musafir, yaitu mereka diwajibkan mengganti di hari lain sampai sempurna jumlah hari puasanya menjadi 1 bulan. Ath Thabari membawakan riwayat dari Ad Dhahak bahwa beliau mengatakan: “(maksud al ‘iddah / bilangan di sini) adalah bilangan hari ketika musafir dan orang sakit tidak berpuasa” (Tafsir Ath Thabari, 3/477)
Syaikh As Sa’di memiliki penjelasan bagus: “Wallahu’alam, maksud ayat ini, yaitu dimungkinkan muncul suatu keraguan bahwa (dengan adanya kebolehan berbuka bagi musafir dan orang sakit) tujuan dari puasa hanya didapatkan oleh sebagian orang. Maka ayat ini menjawab keraguan tersebut, yaitu mereka diperintahkan untuk menyempurnakan bilangan harinya” (Tafsir As Sa’di, 1/86).


وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu”


Makna ayat ini menurut Ibnu Katsir adalah “hendaknya kalian berdzikir kepada Allah setelah menyelesaikan ibadah kalian”. Beliau juga menjelaskan, “Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini tentang disyari’atkannya takbiran ketika hendak shalat idul fitri” (Tafsir Ibni Katsir, 1/505).
Dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Al Kuwatiyyah (13/213) dijelaskan: “Mayoritas fuqaha berpendapat dianjurkannya takbiran ketika Idul Fitri dengan suara jahr, mereka berdalil dengan ayat ini. Ibnu Abbas berkata, ayat ini turun berkaitan dengan Idul Fitri karena terdapat athaf terhadap firman Allah
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ

….Adapun lafadz yang ini maksudnya adalah menyempurnakan hitungan hari puasa Ramadhan”.

وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“supaya kamu bersyukur”


Ibnu Katsir menjelaskan maknanya, “Yaitu jika anda telah menegakkan perintah Allah dengan menunaikan ketaataan-ketaatan dan kewajiban-kewajiban, meninggalkan yang haram, menjaga batasan-batasan agama, maka semoga anda termasuk dalam golongan orang yang bersyukur” (Tafsir Ibni Katsir, 1/505).

Allah Ta’ala telah memberi manusia nikmat yang berlimpah, yang tidak bisa kita hitung banyaknya. Bahkan orang yang merasa paling menderita di dunia pun tidak akan bisa menghitung nikmat Allah kepadanya. Lalu, salah satu bentuk dan bukti rasa syukur seseorang atas nikmat-nikmat tersebut, adalah dengan menjalankan berbagai ketaatan terutama hal-hal yang diwajibkan baginya. Sebagaimana apa yang dilakukan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasa shalat malam hingga kakinya bengkak. ‘Aisyah pun lalu bertanya, mengapa engkau melakukan ini wahai Rasulullah? Bukankah Allah telah mengampuni dosamu baik yang telah lalu maupun yang akan datang? Beliau menjawab: ‘Bukankah aku akan bahagia jika menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?’” (HR. Bukhari 4837, Muslim 2820).

Wallahu’alam bis shawab

Jakarta, 23 Sya'ban 1440 H


Sumber  :
https://muslim.or.id/9779-tafsir-surat-al-baqarah-185.html